Al-Quran berfirman, “Allah adalah cahaya di atas cahaya”. Menurut Dr. Zakir Naik, penulis buku Al-Quran dan Sains Modern, dia juga seorang Hafidz (seorang yang hafal seluruh Al-Quran), mengatakan, yang dimaksud Allah cahaya diatas cahaya merupakan sebuah analogi; bahwa Allah SWT merupakan cahaya. Dia adalah sumber cahaya yang tidak pernah padam yang mampu “menerangi” alam semesta agar bergerak mengikuti hukum-Nya, juga sebagai cahaya yang menuntun orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan juga sebagai cahaya yang membuka penglihatan kepada orang-orang yang buta mata[hati]nya sehingga ia sadar dimana ia berada dan siapa dirinya.
Semua manusia dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Maksudnya, manusia pada dasarnya mempunyai potensi untuk beriman yang selalu ada di dalam hatinya. Sejak akalnya diciptakan dan diberi “kemampuan untuk menerima kebenaran”—meminjam istilah Aristoteles—manusia sudah dikenalkan pada Tuhannya. Yang apabila akalnya mampu berpikir secara “baligh” ia bisa berhubungan erat (menyadari) dengan kebenaran hati yang senantiasa memancarkan cahaya keyakinan bahwa Allah itu ada. Cahaya-Nya akan selalu memancar di dalam hatinya sebagai penerang atau pembuka kesadaran bahwa manusia harus beriman kepada-Nya.
Jadi, tidak ada manusia yang tidak menyadari akan kehadiran Tuhan, meski ia seorang atheis. Tuhan yang tidak membutuhkan bentuk dalam kehidupan, itu karena kehadiran-Nya sangat terasa dalam hidup ini. Seperti kata M. Quraish Shihab, ketidak terlihatan Tuhan dalam kehidupan karena Dia sangat terasa kehadiran-Nya. Atheis hanyalah sebuah pengakuan manusia yang “merasa” tidak ada Tuhan atau tidak membutuhkan Tuhan. Sebab hakikatnya ia mengakui sebuah “kekuatan” yang senantiasa hadir dalam hidupnya dan yang menjadikannya hidup. Seorang sufi berkata, selagi manusia memiliki harapan dan ketakutan, selama itu pula ia mengakui Tuhan.
Semua manusia itu memiliki cahaya Allah SWT yang berada dalam hatinya. Akan tetapi, acap kali gemerlap kehidupan dunia membutakan matahati sehingga kita lebih terpesona oleh pancaran kehidupan dunia ketimbang pancaran cahaya Allah. Hati yang terlalu sibuk dengan kehidupan dunia, ditambah kebanggaan terhadap diri sendiri membuat cahaya Tuhan yang memancar di dalam hati tidak terasa. Ledakan syahwat dunia layaknya supernova menjadikan diri terhisap kedalam hati yang telah terbungkus dengan gemerlapnya cahaya dunia yang ada kalanya menipu.
Untuk membuka tabir gelap yang menutupi cahaya hati, manusia harus berusaha sekerasnya mendefault (mengembalikan akal dan hatinya) pada posisi awal, saat belenggu-belenggu pikiran dan kesombongan belum pernah menyentuhnya. Cobalah Merenung sejenak, menutup semua Panca Inderawi kita, lalu rasakan dan lihatlah pancaran Cahaya yang ada di dalam hati kita dengan tidak mengikat [dulu] hidup kita pada sebuah prinsip, baik atau buruknya. Netralkan akal dan pikiran dari teori-teori hidup ini, kosongkan dari kesibukan duniawi, dan pada akhirnya kita akan menyadari bahwa di dalam hati ada sebuah cahaya yang membuka kita pada penglihatan bahwa disinilah kita hidup, dan inilah diri kita yang tercipta karena Allah SWT.
Jika meminjam istilah Ari Gynanjar, seorang trainer ESQ (Emotional Spiritual Questiion), bahwa setiap hati manusia itu ada godspot (suara Tuhan). Setiap manusia menyepakati kebenaran universal, yakni di dalam hati manusia senantiasa ada yang membisikan bahwa kebenaran itu benar dan keburukan itu buruk. Orang jahat tahu apa yang dilakukannya itu salah. Meski perbuatannya salah, tapi mengakui kesalahan adalah benar. Sebab hati tidak pernah bohong. Selain itu, setiap orang pasti merasakan hal yang sama; manusia itu harus berbuat baik dan berharap dirinya jadi orang baik, dan berharap semua penjahat itu jadi orang baik. Apa itu artinya? Artinya ada “suara” yang selalu membisikan kebenaran yang sama, dan itu adalah suara atau cahaya Allah Swt. Jadi benarlah, bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Yakni manusia pada awalnya ada dalam keadaan suci dan selamanya harus menjaga kesuciannya. Dengarkan suara hati Anda: menodai sesuatu yang suci benarkah hal itu? Salah! Kalau begitu berusahalah diri kita agar menjadi yang suci (beriman kepada Allah SWT dan melaksanakan misi suci-Nya, yakni amal shaleh (berbuat baik). Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment