Semua informasi yang kita miliki tentang dunia tempat kita hidup disampaikan kepada kita melalui lima indra kita. Dunia yang kita ketahui terdiri dari apa yang dilihat mata, diraba tangan, dicium hidung, dikecap lidah, dan didengar telinga kita. Kita tidak pernah berpikir bahwa dunia "luar" mungkin berbeda dengan apa yang disampaikan indra kepada kita, karena kita telah bergantung hanya kepada kelima indra tersebut sejak lahir.
Akan tetapi, penelitian modern dalam berbagai bidang ilmu menunjukkan pemahaman sangat berbeda dan menimbulkan keraguan serius tentang indra kita serta dunia yang kita pahami dengannya.
Titik awal pendekatan ini adalah bahwa gagasan "dunia luar" yang terbentuk dalam otak kita hanya sebuah respon yang diciptakan oleh sinyal-sinyal elektris. Merahnya apel, kerasnya kayu, bahkan, ibu, ayah, keluarga Anda dan segala sesuatu yang Anda miliki, rumah, pekerjaan, kalimat-kalimat dalam buku ini, hanya terdiri atas sinyal-sinyal elektris.
Frederick Vester menjelaskan apa yang telah dicapai ilmu pengetahuan tentang subjek ini:
Pernyataan-pernyataan beberapa ilmuwan bahwa "manusia adalah sebuah citra, segala sesuatu yang dialaminya bersifat sementara dan menipu, dan alam semesta ini adalah bayangan", tampaknya dibuktikan oleh ilmu pengetahuan mutakhir.
Untuk memperjelas permasalahan ini, mari kita pikirkan indra penglihatan kita, yang memberikan informasi paling luas tentang dunia luar.
Bagaimana Kita Melihat, Mendengar dan Mengecap?
Proses penglihatan terjadi melalui cara yang sangat canggih. Paket-paket cahaya (foton) yang melintas dari objek ke mata melewati lensa di bagian depan mata. Paket-paket cahaya ini terpecah-pecah dan jatuh terbalik pada retina di bagian belakang mata. Di sini, cahaya tersebut diubah menjadi sinyal-sinyal elektris, kemudian dikirimkan oleh sel-sel saraf ke bintik kecil yang disebut pusat penglihatan di bagian belakang otak. Sinyal listrik ini diterjemahkan sebagai sebuah citra setelah melalui serangkaian proses. Tindakan melihat sebenarnya terjadi dalam bintik kecil ini, yang merupakan tempat gelap pekat dan terisolasi total dari cahaya.
Sekarang, marilah kita kaji kembali proses yang tampaknya biasa dan tidak istimewa ini. Saat kita mengatakan "kita melihat", sebenarnya kita melihat efek impuls yang mencapai mata dan muncul di dalam otak setelah cahaya diubah menjadi sinyal listrik. Jadi ketika kita mengatakan "kita melihat" sebenarnya kita sedang mengamati sinyal-sinyal elektris di dalam otak kita.
Stimulasi dari sebuah objek diubah menjadi sinyal-sinyal elektris dan mempengaruhi otak. Ketika kita "melihat", kita sebenarnya menyaksikan efek dari sinyal-sinyal elektris ini dalam pikiran kita.
Semua citra yang kita lihat dalam kehidupan dibentuk di dalam pusat penglihatan, yang hanya beberapa kubik sentimeter dari keseluruhan volume otak. Baik buku yang sedang Anda baca maupun dataran tanpa batas yang Anda lihat ketika menatap cakrawala tercakup dalam ruangan kecil ini. Hal lain yang harus diingat adalah bahwa otak terisolasi dari cahaya, di dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada kontak antara otak dengan cahaya itu sendiri.
Kita dapat menjelaskan situasi menarik ini dengan sebuah contoh. Andaikan ada sebuah lilin menyala di depan kita. Kita bisa duduk di depan lilin tersebut dan memperhatikannya untuk beberapa lama. Selama itu otak kita tidak pernah bersentuhan langsung dengan cahaya lilin. Bahkan ketika kita melihat cahaya lilin, bagian dalam otak kita gelap gulita. Kita melihat dunia yang berwarna-warni dan cerah di dalam otak kita yang gelap.
R.L. Gregory memberikan penjelasan berikut tentang aspek menakjubkan dari melihat, suatu kegiatan yang kita anggap biasa saja:
Kita begitu terbiasa dengan melihat sehingga diperlukan lompatan imajinasi untuk menyadari bahwa terdapat kerumitan di balik ini. Tetapi cobalah pikirkan hal ini. Mata kita diberi citra kecil dan terbalik, dan kita melihat benda-benda nyata di sekitar kita. Dari pola simulasi pada retina mata inilah kita memahami dunia benda, dan ini adalah suatu keajaiban.2
Hal yang sama berlaku pula bagi seluruh indra kita. Suara, sentuhan, rasa dan aroma seluruhnya dikirimkan dalam bentuk sinyal-sinyal listrik ke otak, di mana sinyal-sinyal ini diterjemahkan di pusatnya masing-masing.
Bahkan ketika kita merasakan cahaya dan panas nyala api, bagian dalam otak kita tetap gelap gulita dan suhunya tidak pernah berubah.
Berkas cahaya dari sebuah objek jatuh di retina secara terbalik. Di sini, bayangan diubah menjadi sinyal-sinyal elektris dan ditransmisikan ke pusat penglihatan di belakang otak. Karena otak terisolasi dari cahaya, tidak mungkin cahaya mencapai pusat penglihatan. Artinya, kita menyaksikan dunia yang penuh cahaya dan kedalaman dalam titik kecil yang terisolasi dari cahaya.
Proses mendengar terjadi dengan cara yang sama. Telinga luar menangkap suara melalui daun telinga dan membawanya ke telinga bagian tengah; telinga bagian tengah meneruskan dan memperkuat getaran suara ini ke telinga bagian dalam; telinga bagian dalam mengubah getaran suara ini menjadi sinyal-sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Seperti halnya mata, tindakan mendengar berakhir di pusat pendengaran dalam otak. Otak kita terisolasi dari suara seperti halnya terisolasi dari cahaya. Oleh karena itu, bagaimanapun gaduhnya di luar, bagian dalam otak sunyi senyap.
Semua yang kita lihat sehari-hari dibentuk dalam "pusat penglihatan", di belakang otak kita, yang hanya berukuran beberapa sentimeter kubik. Baik buku yang sedang Anda baca, maupun pemandangan tanpa batas yang Anda saksikan ketika memandang horizon termuat dalam ruang kecil ini. Karenanya, kita tidak melihat objek dengan ukuran sebenarnya di luar, namun dalam ukuran yang ditangkap oleh otak.
Meskipun demikian, suara paling lemah pun bisa ditangkap dalam otak. Proses ini sangat presisi sehingga telinga orang sehat mampu mendengarkan suara apa pun tanpa gangguan atau interferensi asmosferik. Dalam otak yang terisolasi dari suara, Anda menangkap simfoni orkestra, kebisingan di tempat ramai dan semua jenis suara dalam rentang frekuensi yang lebar mulai dari desir dedaunan hingga deru pesawat jet. Namun jika pada saat itu tingkat suara dalam otak Anda diukur dengan suatu peralatan sensitif, akan didapati bahwa di dalam otak sepenuhnya sunyi.
Persepsi kita tentang aroma terbentuk dengan cara yang sama. Molekul-molekul 'volatil' (mudah menguap) yang dikeluarkan benda seperti vanila atau mawar mencapai reseptor (sensor penerima) berupa rambut-rambut lembut di daerah epitel hidung sehingga terjadilah interaksi. Interaksi ini disampaikan ke otak sebagai sinyal elektris dan dipahami sebagai aroma. Segala sesuatu yang kita cium, baik yang enak maupun tidak, pada hakikatnya adalah pemahaman otak terhadap interaksi molekul-molekul volatil yang diubah ke dalam sinyal-sinyal elektris. Anda menangkap bau parfum, bunga, makanan kegemaran, laut atau aroma lain yang Anda suka ataupun tidak, di dalam otak Anda. Molekul-molekul itu sendiri tidak pernah menyentuh otak. Jadi sama dengan pendengaran dan penglihatan, yang sampai ke otak Anda hanya sinyal-sinyal listrik. Dengan kata lain, semua aroma yang sejak lahir Anda anggap berasal dari objek-objek luar, sebenarnya hanya sinyal-sinyal elektris yang Anda rasakan melalui indra.
Demikian pula dengan empat macam reseptor kimiawi di bagian depan lidah manusia. Sensor-sensor ini menangkap rasa asin, manis, asam dan pahit. Setelah serangkaian proses kimia, sensor-sensor rasa mengubah persepsi rasa ini ke dalam sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Sinyal-sinyal ini dipahami sebagai rasa oleh otak. Rasa yang Anda peroleh ketika Anda memakan coklat atau buah yang Anda suka merupakan interpretasi sinyal-sinyal elektris oleh otak. Anda tidak pernah dapat menjangkau objek di luar tersebut; Anda tidak pernah dapat melihat, mencium atau merasakan coklat itu sendiri. Sebagai contoh, jika saraf pengecap yang terhubung ke otak dipotong, apa pun yang Anda makan tidak akan sampai pada otak; Anda akan kehilangan kemampuan mengecap.
Sampai di sini, kita mendapati fakta lain: kita tidak pernah bisa yakin bahwa apa yang kita rasakan ketika kita mengecap makanan adalah sama dengan apa yang orang lain rasakan ketika dia mengecap makanan yang sama, atau apa yang kita tangkap ketika kita mendengar bunyi adalah sama dengan apa yang ditangkap orang lain ketika dia mendengar bunyi yang sama. Terhadap fakta ini, Lincoln Barnett mengatakan bahwa "tidak seorang pun dapat mengetahui apakah orang lain melihat warna merah atau mendengar nada C sama dengan yang dilihat dan didengarnya."
Indra peraba kita tidak berbeda dengan indra lainnya. Ketika kita meraba sebuah objek, semua informasi yang membantu kita mengenali dunia luar dan objek-objek dibawa ke otak oleh saraf pada kulit. Rasa sentuhan dibentuk dalam otak kita. Berlawanan dengan keyakinan umum, kita merasakan sentuhan bukan di ujung jari atau kulit melainkan di pusat sentuh di dalam otak. Sebagai hasil tafsiran otak terhadap stimulan-stimulan elektris yang datang dari suatu objek, kita menangkap rasa yang berbeda dari objek-objek tersebut seperti keras atau lunak, panas atau dingin. Kita mendapatkan semua detail informasi yang membantu kita mengenali sebuah objek dari stimulan seperti ini. Dua filsuf terkenal, B. Russell dan L. Wittgeinstein, mengungkapkan pemikiran mereka tentang fakta penting ini sebagai berikut:
Sebagai contoh, apakah sebuah jeruk benar-benar ada atau tidak dan bagaimana buah ini menjadi ada tidak bisa dipertanyakan dan diselidiki. Sebuah jeruk hanya terdiri dari rasa yang dikecap lidah, aroma yang dicium hidung, warna dan bentuk yang dilihat mata; dan hanya sifat-sifat inilah yang dapat dijadikan bahan pengujian dan penelitian. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah tahu dunia fisik.
Tidak mungkin kita menjangkau dunia fisik. Semua objek di sekeliling kita adalah kumpulan persepsi dari penglihatan, pendengaran dan sentuhan. Dengan mengolah data di pusat penglihatan dan di pusat-pusat sensoris lain, seumur hidup otak kita berhadapan bukan dengan materi "asli" yang ada di luar kita, melainkan dengan tiruan yang terbentuk di dalam otak. Pada titik inilah kita keliru mengasumsikan bahwa tiruan-tiruan ini adalah materi-materi sejati di luar kita.
"Dunia Luar" dalam Otak Kita
Berdasarkan fakta-fakta fisik yang telah digambarkan sejauh ini, kita dapat meyimpulkan sebagai berikut: segala sesuatu yang kita lihat, sentuh, dengar dan indrakan sebagai "materi", "dunia" atau "alam semesta" tidak lain hanya sinyal-sinyal listrik dalam otak kita.
Seseorang yang memakan buah pada hakikatnya tidak berhadapan dengan buah sebenarnya tetapi dengan persepsi tentang buah dalam otak. Objek yang dianggap sebagai buah oleh orang tersebut sebenarnya terdiri dari kesan-kesan elektris di dalam otak mengenai bentuk, rasa, bau dan tekstur buah. Jika saraf penglihatan yang terhubung ke otak tiba-tiba rusak, citra buah akan hilang secara tiba-tiba. Putusnya saraf yang menghubungkan sensor-sensor di hidung dengan otak akan mengganggu proses penciuman. Singkatnya, buah hanyalah interpretasi sinyal-sinyal listrik oleh otak.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kesan jarak. Jarak, misalnya antara Anda dan buku ini, hanya perasaan hampa yang terbentuk di dalam otak. Objek yang tampak jauh dalam pandangan seseorang terbentuk juga di dalam otak. Sebagai contoh, seseorang yang melihat bintang-bintang di langit beranggapan bahwa bintang-bintang tersebut berada dalam jarak jutaan tahun cahaya darinya. Akan tetapi, apa yang dia "lihat" sebenarnya adalah bintang-bintang dalam dirinya sendiri, yaitu di dalam pusat penglihatannya. Ketika Anda membaca kalimat-kalimat ini, Anda sebenarnya tidak berada di dalam ruangan yang Anda kira, sebaliknya ruanganlah yang berada di dalam diri Anda. Karena melihat tubuh Anda, Anda jadi berpikir bahwa Anda berada di dalamnya. Akan tetapi, Anda harus ingat bahwa tubuh Anda juga sebuah citra yang dibentuk di dalam otak.
Hal yang sama berlaku pada semua persepsi Anda lainnya. Sebagai contoh, ketika Anda berpikir bahwa Anda mendengar suara televisi di kamar sebelah, Anda sebenarnya sedang mendengarkan suara tersebut di dalam otak Anda. Anda juga tidak dapat membuktikan bahwa kamar tersebut benar-benar ada di sebelah kamar Anda, atau bahwa suara televisi datang dari kamar tersebut. Baik suara yang Anda pikir datang dari jarak beberapa meter maupun bisikan seseorang di sebelah Anda, ditangkap oleh pusat pendengaran yang berukuran hanya beberapa sentimeter persegi di dalam otak Anda. Terlepas dari pusat persepsi ini, tidak ada konsep seperti kanan, kiri, depan atau belakang. Jadi suara tidak datang pada Anda dari kanan, kiri atau dari udara; tidak ada arah dari mana suara tersebut datang.
Aroma yang Anda tangkap demikian pula; tidak satu aroma pun yang sampai kepada Anda dari jarak jauh. Anda beranggapan bahwa hasil akhir yang terbentuk di dalam pusat penciuman adalah aroma objek di luar. Akan tetapi, sebagaimana citra mawar di dalam pusat penglihatan Anda, aroma bunga ini pun berada di dalam pusat penciuman; tidak ada mawar atau aromanya di luar.
"Dunia luar" yang ditunjukkan oleh persepsi kita hanya kumpulan sinyal listrik yang sampai pada otak kita. Sepanjang hidup kita, sinyal-sinyal ini diproses oleh otak dan kita hidup tanpa menyadari bahwa kita telah keliru menganggap sinyal-sinyal tersebut sebagai wujud asli objek-objek yang berada di "dunia luar". Kita telah terpedaya karena kita tidak pernah dapat menjangkau materi itu sendiri dengan indra kita.
Lagi-lagi, otak kitalah yang menafsirkan dan memaknai sinyal-sinyal yang kita anggap sebagai "dunia luar". Sebagai contoh, marilah kita perhatikan indra pendengaran. Sesungguhnya otak kitalah yang mengubah gelombang suara di "dunia luar" menjadi sebuah simfoni. Sehingga dapat dikatakan bahwa musik adalah persepsi yang dibuat oleh otak kita. Dengan cara yang sama, ketika kita melihat warna, apa yang sampai pada mata kita hanya sinyal-sinyal listrik dengan beragam panjang gelombang. Sekali lagi otak kitalah yang mengubah sinyal-sinyal ini menjadi warna. Tidak ada warna di "dunia luar". Apel juga tidak merah, langit tidak biru atau pohon tidak hijau. Apel, langit dan pohon terlihat seperti itu hanya karena kita mengindranya seperti itu. "Dunia luar" sepenuhnya tergantung pada pengindraan seseorang.
Bahkan kerusakan kecil pada retina mata dapat menyebabkan buta warna. Ada orang yang menangkap warna biru sebagai hijau, ada yang menangkap merah sebagai biru dan ada pula yang melihat semua warna sebagai abu-abu dengan beragam intensitas. Dalam hal ini, tidak penting lagi apakah objek di luar berwarna atau tidak.
Pemikir terkemuka, Berkeley, juga mengungkapkan fakta ini:
Pada awalnya, dipercaya bahwa warna, aroma dan sebagainya "benar-benar ada", tetapi berangsur-angsur pandangan seperti itu ditinggalkan, dan kemudian dipahami bahwa hal-hal tersebut tergantung pada pengindraan kita.5
Penemuan-penemuan fisika modern menunjukkan bahwa alam semesta merupakan suatu kumpulan persepsi. Pertanyaan berikut muncul pada sampul majalah ilmu pengetahuan Amerika terkenal, New Scientist yang mengangkat fakta ini dalam terbitan 30 Januari 1999: "Di Luar Realitas: Apakah Alam Semesta Sebenarnya Sebuah Pesiar Informasi dan Materi Hanyalah Fatamorgana?"
Pengetahuan Manusia Yang Terbatas
Makna lain dari berbagai kenyataan yang telah dipaparkan sejauh ini adalah bahwa sebenarnya, pengetahuan manusia tentang dunia luar sungguh sangat terbatas.
Pengetahuan itu terbatas pada kelima indra kita, dan tidak ada bukti bahwa dunia yang kita kenali melalui kelima indra itu sama persis dengan dunia "yang sesungguhnya".
Jadi, dunia tersebut bisa saja sangatlah berbeda dari apa yang kita kenali. Mungkin saja terdapat sangat banyak dimensi dan wujud lain yang belum kita ketahui. Sekalipun jika kita menjangkau titik-titik terjauh dari alam semesta, pengetahuan kita akan senantiasa tetap terbatas. Tuhan Yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu, memiliki pengetahuan menyeluruh dan sempurna atas segala sesuatu yang, karena telah diciptakan Tuhan, mampu memiliki sebatas pengetahuan yang Dia izinkan.
Dalam hal ini, filsuf ilmu pengetahuan terkemuka, Bertrand Rusell, menulis:
Sentuhan yang terasa ketika kita menekan meja dengan jari-jari kita, yaitu gangguan elektris pada proton dan elektron di ujung jari kita. Menurut fisika modern, hal ini dihasilkan oleh kedekatan proton dan elektron pada meja. Jika gangguan elektris yang sama pada ujung jari kita ditimbulkan dengan cara lain, kita masih merasakan meja di ujung jari kita, walaupun meja tersebut tidak ada.
Memang kita mudah tertipu, mempercayai suatu persepsi walaupun dalam kenyataannya tidak ada materi yang berkaitan dengannya. Kita sering mengalami perasaan ini dalam mimpi. Dalam mimpi, kita mengalami kejadian, melihat orang, objek dan lingkungan yang tampak nyata. Tetapi semuanya hanya persepsi. Tidak ada perbedaan mendasar antara mimpi dan "dunia nyata"; keduanya dialami dalam otak.
Siapakah Sang Pelaku Pengindraan?
Otak adalah setumpuk sel yang terbuat dari proten dan molekul-molekul lemak. Otak terbentuk dari sel-sel saraf yang disebut neuron. Tidak ada kekuatan apa pun dalam potongan daging ini untuk mengamati imaji-imaji, untuk memberi kesadaran, atau untuk menciptakan keberadaan yang kita sebut "diri sendiri".
Seperti yang telah kita bahas sejauh ini, tidak ada keraguan terhadap fakta bahwa dunia yang kita pikir kita diami dan kita sebut "dunia luar" dibentuk di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini muncul pertanyaan penting. Jika semua kejadian fisik yang kita ketahui, pada hakikatnya adalah persepsi, bagaimana dengan otak kita? Karena otak kita adalah bagian dari dunia fisik seperti halnya lengan, kaki atau objek lain, maka otak pun seharusnya merupakan persepsi seperti semua objek lainnya.
Sebuah contoh tentang mimpi akan membuat masalah ini menjadi lebih jelas. Mari kita pikirkan bahwa kita melihat mimpi dalam otak kita sesuai dengan apa yang telah dikatakan sejauh ini. Di dalam mimpi kita akan memiliki tubuh imajiner, lengan imajiner, mata imajiner dan otak imajiner. Jika selama mimpi kita ditanya "Di mana Anda melihat?", kita akan menjawab "Saya melihat di dalam otak saya". Meskipun sebenarnya tidak ada otak untuk kita bicarakan, hanya ada kepala imajiner dan otak imajiner. Yang melihat citra-citra ini bukan otak imajiner dalam mimpi, melainkan "sesuatu" yang jauh lebih superior daripadanya.
Kita tahu bahwa tidak ada perbedaan fisik antara situasi mimpi dan situasi yang kita sebut sebagai "kehidupan nyata". Jadi ketika dalam setting yang kita sebut "dunia nyata" kita ditanya "di mana Anda melihat" maka jawaban "di dalam otak" sama tidak berartinya dengan contoh di atas. Pada kedua kondisi, entitas yang melihat dan merasa bukan otak, yang bagaimanapun hanya seonggok daging.
Sejauh ini, kita telah berbicara berulang-ulang tentang bagaimana kita menyaksikan sebuah salinan dari dunia luar di dalam otak kita. Satu makna pentingnya adalah bahwa kita tidak pernah dapat merasakan dunia luar sebagaimana yang sesungguhnya.
Kenyataan berikutnya, dan yang tidak kalah penting adalah bahwa "wujud mandiri [kesadaran]" di dalam otak kita yang menyaksikan dunia ini tidaklah mungkin otak itu sendiri, yang menyerupai perangkat komputer terpadu: mengolah data yang sampai kepadanya, menerjemahkan ke dalam gambar, dan menampilkannya pada layar. Namun sebuah komputer tidak mampu menyaksikan wujudnya sendiri, tidak pula komputer itu sadar akan keberadaannya.
Ketika otak dianalisa, yang ditemukan hanya lipida dan protein, molekul yang juga terdapat pada organisme lain. Berarti di dalam sepotong daging yang kita sebut "otak", tidak ada apa pun yang dapat digunakan untuk mengamati citra, membangun kesadaran atau mencipta seseorang yang kita sebut "saya".
R. L. Gregory merujuk kekeliruan yang dilakukan orang-orang berkaitan dengan persepsi citra di dalam otak:
Ada godaan, yang harus dihindari, untuk mengatakan bahwa mata menghasilkan gambar di dalam otak. Gambar di dalam otak berarti memerlukan sejenis mata internal untuk melihatnya — tetapi mata internal ini akan memerlukan mata lain lagi untuk melihat gambarnya… dan seterusnya tanpa akhir antara mata dan gambar. Ini benar-benar absurd.
Fakta inilah yang menempatkan materialis — yang tidak mempercayai apa pun kecuali materi sebagai kebenaran — dalam kesulitan. Milik siapakah "mata di dalam" yang melihat, yang memahami apa yang dilihatnya dan bereaksi?
Karl Pribram juga menyoroti pertanyaan tentang siapakah sang pelaku pengindraan tersebut, suatu pertanyaan penting di dunia ilmu pengetahuan dan filsafat:
Sejak zaman Yunani, filsuf-filsuf telah berpikir tentang "hantu di dalam mesin", "orang kecil di dalam orang kecil" dan seterusnya. Di manakah "saya", orang yang menggunakan otaknya? Siapakah dia yang menyadari tindakan memahami? Seperti dikatakan Saint Francis of Assisi: "Yang kita cari adalah siapa yang melihat."
Sekarang mari kita renungkan: buku di tangan Anda, ruangan di mana Anda berada, singkatnya, semua citra di depan Anda dilihat di dalam otak. Apakah atom-atom yang melihat citra ini? Atom yang buta, tuli, dan tidak memiliki kesadaran? Apakah tindakan kita berpikir, memahami, mengingat, merasa senang, merasa tidak bahagia dan semua hal lainnya terdiri atas reaksi elektrokimia antara atom-atom ini?
Ketika kita memikirkan pertanyaan ini, kita melihat bahwa mencari kehendak dalam atom adalah tidak masuk akal. Jelas bahwa sesuatu yang melihat, mendengar dan merasa adalah wujud supramaterial. Wujud ini "hidup" dan dia bukan materi atau citra materi. Wujud ini berhubungan dengan persepsi di depannya dengan menggunakan citra tubuh kita.
Wujud ini adalah "Ruh".
Wujud berakal yang menulis dan membaca kalimat-kalimat ini bukan kumpulan atom dan molekul — serta reaksi kimia di antaranya — melainkan sebuah "Ruh".
Wujud Mutlak yang Nyata
Semua fakta ini membawa kita langsung pada pertanyaan yang sangat penting. Jika sesuatu yang kita akui sebagai dunia materi hanya terdiri dari persepsi-persepsi yang dilihat oleh jiwa, lalu apa sumber persepsi-persepsi ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mempertimbangkan fakta berikut: materi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur eksistensinya sendiri. Karena materi adalah sebuah persepsi, maka materi bersifat "artifisial". Keberadaan persepsi ini harus disebabkan oleh kekuatan lain, yang berarti bahwa persepsi sebenarnya diciptakan. Selain itu, penciptaan ini harus kontinu. Jika tidak ada penciptaan kontinu dan konsisten, maka apa yang kita sebut materi akan menghilang dan musnah. Mirip dengan televisi, di mana sebuah gambar akan ditayangkan selama sinyal dipancarkan.
Jadi siapa yang membuat jiwa kita melihat bintang, bumi, tanaman, orang, badan kita dan semua yang kita lihat?
Sangat jelas bahwa ada Pencipta Agung, yang telah menciptakan seluruh dunia materi, yaitu kumpulan persepsi, dan yang meneruskan penciptaan-Nya tiada henti. Karena Pencipta ini menunjukkan penciptaan yang demikian hebat, Dia pasti memiliki daya dan kekuatan abadi.
Pencipta ini mengenalkan diri-Nya kepada kita. Dia telah meurunkan sebuah kitab dalam semesta pengindraan yang telah diciptakan-Nya. Melalui kitab tersebut Dia telah menggambarkan diri-Nya sendiri, alam semesta dan alasan keberadaan kita.
Pencipta ini adalah Allah dan nama kitab-Nya adalah Al Quran.
Fakta bahwa langit dan bumi atau alam semesta tidak kekal, bahwa keberadaannya dimungkinkan hanya oleh penciptaan Allah dan bahwa alam semesta akan musnah ketika Dia mengakhiri penciptaan ini.
Jika Tuhan tidak berkehendak menampilkan gambar dunia ini kepada otak kita, maka seluruh alam semesta tidak akan ada lagi untuk kita, dan kita tidak akan pernah mampu menjangkaunya.
Kenyataan bahwa kita tidak pernah mampu berhubungan langsung dengan alam semesta yang bersifat materi ini juga menjawab pertanyaan "Di mana Tuhan?" yang menyibukkan pemikiran banyak orang.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal, banyak orang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Allah sehingga mereka membayangkan-Nya sebagai suatu wujud yang ada di suatu tempat di langit dan tidak sepenuhnya mencampuri urusan duniawi. Dasar logika ini sebenarnya terletak pada pemikiran bahwa alam semesta adalah kumpulan materi dan Allah berada di "luar" dunia materi ini, yaitu di tempat yang sangat jauh. Pada agama-agama palsu, kepercayaan terhadap Allah terbatas pada pemahaman ini.
Akan tetapi, persis sebagaimana ketidakmampuan kita bersentuhan langsung dengan alam semesta yang bersifat materi ini, tidak pula kita mampu memiliki pengetahuan menyeluruh tentang intisari alam semesta tersebut. Semua yang kita tahu adalah keberadaan Pencipta Yang memunculkan segala sesuatu ini menjadi ada—dengan kata lain, Tuhan. Untuk mengungkapkan kebenaran itu, para ulama Islam seperti Imam Rabbani telah berkata bahwa satu-satunya wujud mutlak adalah Tuhan; dan segala sesuatu lainnya, kecuali Dia, hanyalah wujud bayangan [maya/fana].
Karena masing-masing wujud material adalah persepsi, mereka tidak dapat melihat Allah; tetapi Allah melihat materi yang Dia ciptakan dalam segala bentuknya. Dalam Al Quran, fakta ini dinyatakan dengan: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Anaam, 6: 103).
Kita tidak dapat menangkap keberadaan Allah dengan mata kita, tetapi Allah secara menyeluruh meliputi diri kita, baik bagian dalam maupun bagian luar, termasuk penglihatan dan pemikiran kita. Kita tidak dapat mengucapkan satu kata atau menarik satu napas pun kecuali dengan pengetahuan-Nya.
Ketika seseorang berpikir bahwa tubuhnya tersusun atas "materi", dia tidak dapat memahami fakta penting tersebut. Jika dia menjadikan otaknya sebagai "dirinya", maka tempat yang dia maksud sebagai luar hanyalah 20-30 senti-meter darinya. Namun, ketika dia memahami bahwa materi sebenarnya tidak ada dan bahwa segala sesuatu hanya imajinasi, maka pengertian seperti luar, dalam atau dekat akan kehilangan arti. Allah meliputinya dan Dia "sangat dekat" dengannya.
Allah memberitahu manusia bahwa Dia berada sangat dekat dengan mereka melalui ayat "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat..." (QS. Al Baqarah, 2: 186). Ayat lain berkaitan dengan fakta yang sama: "Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: 'Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia'." (QS. Al Isra, 17: 60).
Manusia keliru dengan berpikir bahwa wujud yang terdekat dengannya adalah dirinya sendiri. Allah sebenarnya lebih dekat dengan kita dari-pada kita sendiri. Sebagaimana disampaikan dalam ayat tersebut, orang-orang hidup tanpa menyadari fakta luar biasa ini karena mereka tidak melihat dengan mata mereka.
Sebaliknya, manusia yang hanya berupa wujud bayangan tidak mungkin memiliki kekuatan dan kehendak lepas dari Allah. Allah memberi wujud bayangan ini perasaan bahwa dirinyalah yang melempar. Dalam kenyataannya, Allah yang melakukan semua tindakan. Jadi jika seseorang beranggapan bahwa apa yang diperbuatnya adalah perbuatan dirinya sendiri, sebenarnya ia menipu dirinya.
Ini adalah kenyataan. Seseorang mungkin tidak mau mengakui kenyataan ini dan berpikir bahwa dirinya adalah wujud yang tidak bergantung kepada Allah; namun sikap ini tidak mengubah apa pun.
No comments:
Post a Comment