1. Kesadaran Inderawi
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menegaskan sekali lagi, bahwa yang
kita maksud 'Kesadaran' bukan sekadar melek atau terjaga, tetapi kemampuan
'memahami dan merasakan' suatu interaksi.
Kesadaran inderawi adalah tingkat kesadaran terendah dalam diri seseorang yang
berfungsi ketika ia melakukan interaksi tertentu dengan lingkungannya. Karena
kesadaran mewakili fungsi Jiwa, maka tingkatan kesadaran inderawi juga
menggambarkan kualitas Jiwa yang terendah.
Seseorang dikatakan berada dalam kesadaran inderawinya jika ia menyadari dan
bisa memahami diri dan lingkungan sekitamya dengan bertumpu pada fungsi panca
inderanya.
Ia bisa memahami apa yang dilihatnya. Ia bisa mengerti segala yang didengamya.
la bisa menikmati apa-apa yang dibau oleh indera penciumannya, dikecap oleh
lidahnya, dan dirasakan oleh kulitnya.
Ketika seseorang berada pada kesadaran inderawinya, maka ia memperoleh nuansa
pemahaman terhadap segala yang terjadi sangat 'riil'. Dan cenderung
materialistik. Seringkali, di antara kita bertumpu kepada kemampuan inderawi
secara berlebihan.
Kadang kita hanya percaya kepada sesuatu jika sesuatu itu bisa dijangkau oleh
indera. Kita hanya bisa memahami jika telah melihat dengan mata kepala sendiri,
atau telah mendengarnya, mencium dan merasakannya. Sesuatu yang tidak terdeteksi
oleh panca indera, bakal tidak kita akui sebagai keberadaan. Atau
setidak-tidaknya, kita tidak merasa perlu untuk memikirkannya, dan kemudian
mengacuhkannya.
Orang yang demikian sebenarnya telah terjebak pada pola pikir materialistik
dan terbelakang. Kenapa demikian? Sebab, ternyata sistem kerja inderawi kita
sangatlah terbatas. Sehingga, lucu juga, kalau kita bergantung kepada yang
sangat terbatas itu untuk memahami realitas. Pasti hasilnya juga akan begitu
terbatas dan menipu. Semakin rendah kualitas inderawi kita, maka semakin jelek
juga hasil pemahaman kita.
Sebagai contoh, apa yang terjadi pada orang yang buta warna. Kalau seorang
penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada di sekitarnya
adalah seperti kefahamannya, maka Anda pasti akan menertawakannya. Sebab orang
yang buta warna memang tidak faham bahwa alam sekitarnya berwarna-warni.
Pada orang yang mengalami buta warna total, ia hanya bisa memahami dunia dalam
warna hitam-putih atau abu-abu saja. Gradasi warna merah, jingga, kuning, sampai
putih, baginya hanya terlihat sebagai warna abu-abu tua sampai abu-abu muda, dan
paling ekstrim adalah putih. Atau sama sekali tidak berwarna, alias hitam.
Padahal bagi kita yang tidak buta warna kita melihat bahwa dunia ini berwarna
warni demikian indah. Tidak seperti yang dia fahami lewat keterbatasan
penglihatannya. Ia telah terjebak pada keterbatasannya sendiri. Dan bersikeras
bahwa alam sekitar adalah seperti yang dia fahami.
Kalau kita mau introspeksi, sebenarnya penglihatan kita pun demikian
terbatasnya. Bahkan, pada orang yang memiliki penglihatan paling 'sempurna'
sekalipun. Karena, sistem kerja penglihatan kita ternyata demikian menipu. Tidak
menceritakan yang sebenarnya terjadi. Apa yang kita lihat sebenarnya bukan
realitas.
Sesungguhnya antara kenyataan dan apa yang kita lihat atau kita pahami adalah
2 hal yang berbeda. Kita bukan melihat benda yang sesungguhnya, kecuali sekadar
bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata kita, diteruskan ke retina, dan
kemudian ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik belaka.
Sehingga, pusat penglihatan di otak kita itu pun sebenarnya tidak pernah
berinteraksi langsung dengan benda yang kita lihat. Sel penglihatan di otak
hanya berinteraksi dengan pulsa-pulsa listrik yang berasal dari retina. Jadi
kalau pulsa-pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu
bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut.
Jadi, kefahaman yang disimpulkan oleh sel penglihatan itu sangat bergantung
kepada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa mata, retina, saraf-saraf
penglihatan sampai kepada sel-sel otak yang terkait dengan proses melihat itu.
Padahal, saya kira kita tahu, bahwa ketajaman lensa mata kita tidaklah terlalu
tinggi. Misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda-benda yang terlalu
kecil. Seperti pori-pori benda, bakteri, virus, sel, molekul, atom, dan apalagi
partikel-partikel sub atomik seperti proton, neutron, dan elektron.
Lensa mata manusia juga hanya bisa menangkap benda-benda yang cukup besar.
Namun, tidak terlalu besar. Jika terlalu besar, juga tidak bisa terlihat. Gajah
di pelupuk mata misalnya, pasti malah tidak kelihatan. Jadi, yang sedang-sedang
saja.
Belum lagi, melihat dalam kegelapan. Pasti juga tidak mampu. Atau sebaliknya,
melihat di tempat yang terlalu terang, malah silau. Singkat kata, penglihatan
kita begitu terbatasnya sehingga banyak hal yang tidak bisa kita pahami dengan
hanya sekedar melihat.
Di kali lain, justru penglihatan kita itu telah menipu, dan tidak
'menceritakan' yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, kita melihat gunung berwarna
biru, padahal kalau didekati ia berwarna hijau dedaunan. Bintang di langit
terlihat kecil-kecil dan berkelap-kelip, padahal ia adalah benda raksasa yang
berpijar seperti matahari. Kita melihat fatamorgana di padang pasir, padahal ia
hanyalah uap air yang terbentuk karena panas yang begitu tinggi di permukaan
pasir itu. Dan seterusnya. Mata kita sungguh tidak bisa kita andalkan untuk
memahami kenyataan. Karena ia sering sekali ‘menipu’ kefahaman kita.
Demikian pula, indera yang lain seperti penciuman, pendengaran, pengecap dan
peraba. Mereka tidak kalah sering menipu kita.
Jika suatu saat, kita ke rumah sakit, kita bakal membau aroma obat-obatan yang
menyengat. Tapi jika kita berada di sana dalam waktu yang cukup lama, tiba-tiba
kita tidak merasa membau aroma yang menyengat lagi. Kenapa demikian? Karena
hidung kita telah beradaptasi. Jadi ia telah menipu kefahaman kita. Seakan-akan
sudah tidak ada aroma obat lagi, padahal sebenarnya sensitivitas penciuman kita
yang menurun karena sudah beradaptasi alias berkompromi.
Kulit sebagai indera perasa juga tidak kalah 'pembohongnya'. Kalau kita
berkali-kali meraba benda kasar, maka ketika kita meraba benda halus kepekaannya
juga menjadi berkurang. Atau, kita mencelupkan tangan kita ke dalam air dingin
beberapa waktu, kemudian ganti mencelupkannya ke air hangat. Maka, kita seperti
merasakan mencelupkan tangan ke air panas.
Kenapa demikian? Karena, kulit kita juga melakukan adaptasi dan 'kompromi'
terhadap lingkunganya. Jadi, ia 'plin-plan' dan suka menipu. Karena itu, percaya
yang terlalu berlebihan kepada panca indera kita juga bisa menyebabkan
kekeliruan dalam memahami suatu kenyataan.
Itulah sebabnya, kesadaran alias kefahaman yang dibentuk hanya berdasarkan
panca indera bakal menjebak kita dalam kekeliruan yang sangat mendasar. Panca
indera tidak cukup digunakan untuk memahami kenyataan. Karena ternyata,
kenyataan yang terhampar di sekitar kita berbeda dengan yang tertangkap oleh
mata, telinga dan seluruh panca indera.
Ya, Kesadaran Inderawi adalah kesadaran yang paling rendah tingkatannya. Hanya
anak-anak yang masih kecil saja yang bertumpu sepenuhnya kepada pemahaman panca
inderanya untuk membangun kefahaman terhadap realitas di sekitarnya. Orang yang
lebih dewasa pasti akan bertumpu pada kesadaran yang lebih tinggi dari sekadar
Kesadaran Inderawi.
2. Kesadaran Rasional / Ilmiah
Seseorang yang telah memiliki banyak pengalaman, dan sudah makan asam garam
kehidupan bakal berusaha memahami realitas kehidupan ini dengan melakukan
eksplorasi lebih jauh, daripada sekadar bertumpu pada panca indera. Mereka akan
mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang lain. Bahkan, akan menyimpulkan
dari berbagai penelitian yang berkait dengan masalah tersebut.
Khasanah pengalaman manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya itulah yang
kemudian disebut sebagai ilmu pengetahuan. Ia dikembangkan berdasarkan
rasionalitas persoalan yang berkembang dengan kebutuhan kehidupan manusia.
Maka, orang yang telah menggunakan berbagai khasanah keilmuan untuk memahami
realitas hidupnya, ia telah mencapai kesadaran tingkat kedua yaitu Kesadaran
Rasional alias Kesadaran Ilmiah.
Dia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada hasil pengamatan panca inderanya.
Melainkan membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan yang lain, Misalnya
melalui alat-alat bantu yang lebih canggih. Atau analisa-analisa matematis dan
perhitungan keilmuan lainnya. Dia, karenanya lantas mendapatkan kesimpulan yang
lebih 'valid' dan lebih mendekati kenyataan dibandingkan sekadar menggunakan
panca indera.
Sebagai contoh. Kalau kita menggunakan mata untuk mengamati sebatang logam,
maka kita akan mengatakan bahwa logam itu adalah benda padat yang tidak
berlubang-lubang, tidak tembus penglihatan. Akan tetapi jika kita menggunakan
sinar x atau mikroskop elektron untuk 'melihat' sepotong logam itu, kita bakal
melihat sesuatu yang berbeda, bahwa logam tersebut bukanlah benda yang 'terlalu
padat'. la benda yang berpori-pori dan ‘keropos’.
Contoh lainnya, kita tidak bisa melihat janin di dalam rahim seorang wanita,
dengan mata telanjang. Tapi, kini kita bisa 'melihatnya' dengan menggunakan alat
bantu, USG. Kefahamannya tentang pekembangan janin di dalam rahim menjadi jauh
lebih baik ketimbang hanya sekadar menggunakan mata telanjang. Atau menggunakan
teropong suara yang ditempelkan ke perut ibu yang sedang hamil, seperti
dilakukan para bidan zaman dulu.
Atau, ketika dia berusaha memahami tentang langit. Tentu saja, pemahamannya
akan menjadi jauh lebih baik dan maju ketika dia belajar ilmu astronomi yang
menggunakan banyak alat bantu berupa rumus matematis maupun teleskop,
dibandingkan dengan hanya menggunakan mata untuk memahami bintang-bintang dan
benda langit yang berjumlah triliunan.
Pendek kata, dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan rasional dia akan
memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang alam semesta dan lingkungan
hidupnya. Tiba-tiba ia menyadari betapa canggih dan hebatnya alam semesta tempat
dia hidup. Dia telah memperoleh 'Kesadaran Rasional dan Ilmiah' terhadap
realitas yang terhampar di sekitarnya.
Pada tingkat kesadaran rasional ini, seseorang tiba-tiba bisa 'melihat' lebih
besar dan luas dari apa yang dilihat oleh matanya. Ia bisa 'mendengar' lebih
tajam dibandingkan dengan pendengaran telinganya. la bisa ‘mencium’ lebih peka
daripada penciuman hidungnya. Dan bisa merasakan lebih halus daripada kehalusan
indera pengecap dan perabanya.
Ya, tiba-tiba saja, ia melihat dunia ini berbeda. Bukan hanya seperti yang dia
amati selama ini. Banyak hal yang tadinya tidak terdeteksi kini bermunculan. Ia
telah bisa 'melihat mendengar mencium dan sekaligus merasakan' Dunia, dengan
menggunakan ‘akal’nya.
Inilah yang digambarkan oleh Allah dalam berbagai ayatnya, yang menceritakan
hamba-hamba yang memiliki ilmu pengetahuan mendalam.
QS. Al Ankabuut (29) : 43
Dan Perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
QS. Ali Imran (3) : 190 - 191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
QS. Ar Ra'd (13) : 19
Adakah orang Yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang
berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,
QS. Al Ankabuut (29) : 35
Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi
orang-orang yang berakal.
QS. Ali Imran (3) : 7
Dia-lah Yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang Yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami. " Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.
QS. Ankabuut (29) : 49
Sebenarnya, Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat Kami
kecuali orang-orang yang zalim.
3. Kesadaran Spiritual
Kesadaran tingkat ketiga adalah 'Kesadaran Spiritual'. Kesadaran tingkat ini
mulai menggeser tumpuan pemahamannya, dari rasionalitas di kesadaran tingkat
kedua, menjadi bertumpu pada kefahaman yang lebih mendalam. Dia mulai melihat
adanya realitas yang tidak teramati oleh ilmu pengetahuan empirik dan pendekatan
rasional.
Ada realitas di balik batas-batas panca indera dan kemampuan rasionalitasnya.
Dan juga, dia melihat keterbatasan pemahaman empirik tertentu yang menjadi
landasan ilmu pengetahuan. Dia mulai menggeser rasionalitas menjadi bertumpu
pada ‘Rasa’.
Biasanya, mengarah pada rasa kekaguman yang mendalam terhadap realitas yang
dulu tidak pernah diduganya. Tiba-tiba dia 'melihat' dan 'merasakan' berada di
balik realitas yang sedang dieksplorasinya. Dan kemudian, dia menemui 'tembok
pembatas' yang sangat kokoh yang membentur rasionalitasnya. Menghadang pemikiran
empiriknya. Dia bertemu dengan 'Sebuah Kekuasaan' yang tiada terperikan. Yang
'Mengatur' dan 'Mengendalikan' alam semesta dengan 'Kecerdasan' yang luar biasa.
Tiba-tiba, banyak hal yang tidak memenuhi hukum rasionalitas dan tidak bisa
dibuktikan mengikuti metode-metode empirik yang selama ini dikenalnya.
Sebagai contoh, adalah ketika kita mencoba memahami realitas alam semesta.
Pada kesadaran tingkat pertama. Kesadaran Inderawi manusia berusaha memahami
benda-benda langit sekadar dengan mata dan telinganya.
Hasilnya: manusia mengenal berbagai macam bintang di langit, matahari, bulan,
dan sejumlah meteor yang jatuh ke Bumi. Banyak manfaat yang telah diambil
manusia lewat kesadaran inderawi ini.
Di antaranya, manusia pada abad-abad yang lalu bisa menentukan arah
perjalanannya dengan berpedoman pada rasi bintang yang dikenalnya. Ia tahu arah
utara, barat, selatan dan timur, berdasar posisi bintang-bintang itu. Manfaat
lainnya lagi, mereka bisa menentukan pergerakan waktu dalam skala yang
sederhana, berdasar posisi matahari dan bulan yang terlihat dari bumi. Dan lain
sebagainya.
Namun, Kesadaran Inderawi ini lantas menjebak manusia untuk memahami kenyataan
hanya berdasar apa yang dilihatnya. Misalnya, mereka menganggap matahari
berkeliling bumi. Sebagaimana juga bulan mengelilingi bumi. Kenapa demikian?
Karena begitulah memang yang kelihatan dari permukaan planet bumi. Padahal,
kelak terbukti, ternyata matahari bukan mengelilingi bumi sebagaimana kita
lihat, melainkan justru bumilah yang mengelilingi matahari.
Kefahaman dan kesadaran bahwa bumi mengelilingi matahari itulah yang lebih
mendekati kenyataan. Dan, untuk memperoleh kefahaman bahwa bumi mengelilingi
matahari, manusia tidak bisa hanya mengandalkan panca inderanya, melainkan
dengan menggunakan berbagai pengamatan tidak langsung yang melibatkan berbagai
rumus matematika. Manusia telah melakukan pemahamannya dengan menggunakan fungsi
akal yang lebih tinggi, lewat analisa perhitungan, dan imajinasi yang lebih
abstrak.
Coba bayangkan, mata kita jelas-jelas melihat bahwa matahari bergerak
mengelilingi bumi, setiap hari dari Timur ke Barat. Tapi akal kita justru
membantahnya, dan mengatakan bahwa yang berputar berkeliling justru adalah bumi
terhadap matahari. Hasilnya, bisa bertolak belakang sama sekali!
Demikian pula, ketika kita mencoba memahami hamparan permukaan bumi. Orang
zaman dahulu meyakini bahwa bumi ini datar. Karena memang begitulah yang tampak
oleh mata kita. Tetapi, perjalanan Columbus berkeliling Dunia menggunakan kapal
lautnya telah merubah pemahaman itu.
Ternyata Bumi kita ini bulat. Manusia hewan, tumbuhan dan berbagai isi bumi
sekadar . 'hinggap' di permukaannya. Bukti itu, kini tidak bisa dibantah lagi
ketika manusia bisa memotret planet bumi dari satelit. Bumi memang berbentuk
bola, yang mengambang dan melesat di awang-awang.
Sekali lagi manusia dihadapkan pada dua pemahaman yang sangat berbeda, ketika
menggunakan tingkat kesadaran yang berbeda. Yang pertama sekadar menggunakan
indera mata, dan yang kedua menggunakan rasio secara empirik. Hasilnya, radikal
berbeda.
Terbukti bahwa penggunaan rasio jauh lebih unggul dibandingkan kefahaman
inderawi yang demikian terbatas. Ada potensi 'imajinasi' dan ‘analisa’ yang
tidak dimiliki oleh kesadaran tingkat pertama. Dengan potensi imajinasi serta
analisa itulah manusia memiliki 'mata imajiner' yang memiliki ketajaman dan
sudut pandang yang jauh lebih luas ketimbang mata kepala.
Kalau kita lanjutkan, maka Kesadaran Spiritual bakal memberikan hasil yang
lebih hebat lagi dalam memahami kenyataan. Dalam hal mengamati alam semesta,
manusia yang menggunakan 'Kesadaran Spiritualnya' bakal menemukan rahasia besar
yang selama ini tidak terlihat oleh orang-orang yang sekadar menggunakan 'mata
imajinernya'.
'Mata imajiner' alias Kesadaran Rasional sangat bermanfaat untuk melihat
realitas yang bersifat fisik, dalam skala yang lebih luas, yang berada di luar
jangkauan panca indera. Tiba-tiba seseorang bisa melihat sesuatu yang berada di
balik penglihatan matanya, saat menggunakan Kesadaran Rasionalnya.
Tapi, mata imajiner memiliki keterbatasannya ketika digunakan untuk menangkap
'Makna' yang tersimpan di dalamnya. Makna yang terkandung di dalam pesan
penciptaan. Makna yang menjurus kepada adanya Dzat yang Tiada Berhingga, yang
menampilkan Kecerdasan Tiada Terkira.
Dalam konteks pemahaman alam semesta, kita telah melihat bahwa segala yang
tercipta itu tidak ada yang kebetulan, melainkan dicipta dengan sengaja. Lewat
sebuah rancangan yang sempurna.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan mutakhir, dua aliran 'Kesadaran' tersebut telah
melakukan pertarungan panjang untuk memahami realitas. Kelompok yang pertama
diwakili oleh ilmuwan materialis. Sedangkan kelompok kedua diwakili oleh
ilmuwan-ilmuwan agamis.
Kelompok yang pertama berpendapat bahwa alam semesta yang demikian dahsyat ini
terbentuk dengan sendirinya, tanpa melibatkan Tuhan sebagai sang Pencipta.
Sedangkan kelompok kedua, justru 'melihat' adanya 'Kecerdasan Super' yang
terlibat secara aktif dalam munculnya segala realitas yang mempesona.
Kelompok materialis menggunakan 'mata imajinernya' untuk memahami alam
semesta. Dan mereka hanya memperoleh 'kenyataan' tentang struktur alam semesta
yang tertata dengan keseimbangan sempurna.
Sedangkan kelompok agamis menggunakan ‘mata spiritualnya’ untuk memahami
kenyataan alam semesta. Selain memahami betapa sempurnanya struktur alam semesta
ini, mereka juga bisa merasakan betapa hebatnya 'Kecerdasan' yang menciptakan
dan mengendalikan alam semesta dalam keseimbangan yang tiada cacat sedikit pun.
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an, bahwa seluruh ciptaannya di alam semesta
dan diri manusia dibangun berdasar keseimbangan yang sempurna.
QS. Al Mulk (67) : 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
QS. Al Infithaar (82) : 7
Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan
(susunan tubuh) mu seimbang,
Ada dua perbedaan yang sangat mencolok yang diperoleh kedua kelompok itu.
Padahal, mereka sama-sama ingin memahami kenyataan yang sama. Akan tetapi,
ternyata 'kenyataan' yang mereka sadari itu berbeda. Dan perdebatan itu pun.
berlangsung sengit selama berpuluh tahun terakhir.
Kelompok materialistik bersikukuh dengan pendapatnya bahwa alam semesta
terjadi dengan sendirinya secara evolutif. Berproses 'secara kebetulan'
membentuk kehidupan. Alam memang memiliki kecenderungan untuk beproses seperti
yang kita lihat sekarang dalam keseimbangannya yang azali.
Pada hakikatnya, mereka tidak mau dan tidak bisa melihat adanya 'Sesuatu'
dibalik mekanisme yang demikian 'Aneh dan Cerdas' itu. Bahwa semua proses
berjalan demikian teratur dan seimbang dengan tujuan yang sama: membentuk dan
memfasilitasi adanya kehidupan.
'Mata imajiner' alias ‘Kesadaran Rasional' ternyata tidak sanggup melihat
semua itu. Ia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat materialistik belaka.
Kenapa demikian?
Karena sebenarnya, 'mata imajiner' alias Kesadaran Rasional adalah sekadar
kepanjangan fungsi dari mata kepala, yang dilengkapi dengan analisa-analisa
empiris. Dilengkapi dengan berbagai peralatan bantu. Tapi, substansinya masih
sama ia 'melihat' dengan 'mata fisiknya' Maka, tentu saja, ia hanya bisa
menangkap hal-hal yang bersifat fisik juga.
Padahal, makna yang terkandung di balik realitas itu bersifat non fisik.
Yaitu, sebuah 'kefahaman' yang sangat abstrak. Yang lebih dekat kepada 'rasa'.
Dan ini adalah objek dari indera ke enam yang disebut hati. Inilah yang
difirmankan Allah dalam berbagai ayatNya.
QS. An Nahl (16) : 12
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memahami (nya),
QS. Al Hajj (22) : 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu
mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
QS. Al Ankabut (29) : 63
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan
air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu
mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi
kebanyakan mereka tidak memahami (nya).
QS. Al Mukmin (40) : 67
Dia lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani,
sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang
anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa),
kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang
diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal
yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).
Jadi, pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi manusia hanya bisa memperoleh
makna itu ketika ia menggunakan hatinya sebagai sensor. Bukan lagi mata fisik.
Berkali-kali Allah mengatakan itu. Bahwa untuk bisa memahami mesti menggunakan
hati. Bahwa yang namanya hati itu ada di dalam dada. Bahwa, pada kasus tertentu,
bukan mata kepala yang buta melainkan mata hatinya.
Inilah tingkat Kesadaran Spiritual. Sebuah Kesadaran yang dibangun berdasarkan
penglihatan mata hati alias mata spiritual. Orang yang menggunakan mata hatinya
bakal bisa 'melihat' Allah di balik segala kenyataan fisik, yang dilihatnya.
Atau dengan kalimat lain dikatakan, ia telah bisa 'merasakan kehadiran Allah' di
seluruh benda dan kejadian yang berinteraksi dengannya.
Ketajaman 'mata spiritual' alias Kesadaran Spiritual ini semakin sempurna jika
seseorang mencapainya secara bertahap, mulai dari Kesadaran Inderawi, Kesadaran
Rasional dan kemudian Kesadaran Spiritual.
Sebab, munculnya Kesadaran pada tingkat yang lebih tinggi itu selalu dipicu
oleh memuncaknya Kesadaran yang lebih rendah.
Sebagai contoh, munculnya Kesadaran Rasional adalah ketika pemahaman inderawi
sudah mentok, tidak mampu lagi. Ketika, mata sudah tidak tahu lagi apa yang
terjadi di pusat matahari, maka di situlah terjadi stimulasi terhadap Kesadaran
Rasional untuk berkembang. Maka, manusia lantas menggunakan potensi
rasionalitasnya untuk mengungkapkan rahasia yang ada di pusat matahari itu.
Bahwa di sana ada proses pembangkitan energi panas yang luar biasa dahsyat yang
disebut sebagai reaksi Termonuklir.
Demikian pula, ketika mata fisik sudah tidak mampu lagi melihat sebab-musabab
terjadinya keseimbangan yang mengikat dan menggerakkan benda-benda raksasa di
alam semesta, maka Kesadaran Rasional terpicu untuk mengambil alih peran indera
yang terbatas itu. Dan muncullah kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang menjelaskan
terjadinya keseimbangan gravitasi di seluruh penjuru langit. Kita, lantas berada
dalam Kesadaran Rasional tentang kenyataan tersebut.
Begitu pula dengan Kesadaran Spiritual, ia baru akan muncul ketika terpicu
oleh ketidak mampuan Kesadaran Rasional dalam memahami kenyataan yang terhampar
di hadapannya. Selama seseorang masih merasa bisa memahami kenyataan ini dengan
Kesadaran yang lebih rendah maka ia akan menyombongkan diri tentang kemampuan
itu. Pada saat yang bersamaan ia tidak akan pernah beranjak dari kesadaran
rendahnya menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Perkembangan ilmu pengetahuan empirik yang semakin memuncak di abad-abad
terakhir ini, sebenarnya telah menstimulasi munculnya Kesadaran Spiritual.
Kemampuan mata imajiner manusia mulai menemukan batasnya. Yang di balik batas
itu, manusia mulai merasa tidak tahu apa-apa. Ada suatu rahasia besar yang
'menakutkan', yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak ke segala arah kehidupan telah
menemukan ketidak terbatasan yang mengerikan. Baik yang berkait dengan pemahaman
alam makro, alam mikro, maupun yang terkait dengan proses-proses kehidupan.
Pada skala makrokosmos, Misalnya, manusia kini dihadapkan pada "Kebesaran
Misterius' yang tiada bandingnya. Dulu, manusia hanya mengenal dunia sebagai
lingkungan dimana ia menjalani hidup. la menganggap dunia hanya sebesar daerah
tempat tinggalnya.
Seiring dengan perjalanan hidupnya, manusia lantas memahami tentang pulau dan
benua yang ditempatinya. Semakin meluas, manusia memahami bahwa bumi ini bulat.
Dan akhirnya, manusia memperoleh kefahaman bahwa bumi hanyalah sebuah planet
kecil dari triliunan benda langit yang terhampar di seluruh penjuru alam
semesta.
Tiba-tiba manusia memperoleh kesadaran, tentang keberadaan nya yang demikian
kecil di hamparan 'padang pasir' semesta raya. Dimana bumi hanya bagaikan
sebutir ‘debu’. Dan di atas debu itulah 5 miliar manusia hidup dengan segala
kesombongannya.
Kita tiba-tiba merasa ngeri sendiri. Demikian raksasanya jagad semesta raya.
Sementara, bumi adalah satu-satunya planet yang dihuni oleh kehidupan.
Selebihnya, belum diketemukan adanya kehidupan di planet-planet lain. Ya, 5
miliar manusia hidup dalam kesendirian di jagad raya semesta, yang sampai
sekarang tidak diketahui batasnya.
Seluruh ilmuwan astronomi di muka bumi kini sedang terpaku memandang ke
langit. Menatap penuh ngeri sekaligus kekaguman. Ngeri karena manusia begitu
kecilnya dibandingkan dengan alam semesta yang berisi triliunan benda-benda
angkasa seperti planet bumi atau bahkan banyak yang lebih besar dari bumi.
Namun, kita juga kagum melihat pemandangan yang tiada tara itu. Triliunan
matahari berserakan di angkasa semesta bagaikan pelita kecil-kecil yang
dihamparkan dan ditata dengan indahnya, di dalam kegelapan ruang angkasa yang
demikian raksasa. Di sela-sela pelita itu benda-benda angkasa lainnya
menari-nari, bergerak melesat dengan kecepatan tinggi di orbit-orbit yang
terjaga selama miliaran tahun. Jauh di luar batas usia peradaban manusia yang
cuma berumur ribuan tahun. Hati kita jadi tercekat menyadari kenyataan ini.
Tiba-tiba manusia merasa tidak berdaya dan merasa tidak ada apa-apanya,
berhadapan dengan kedahsyatan alam semesta. Kita ini kecil. Bahkan lebih kecil
dari yang bisa kita bayangkan. Disinilah manusia terbentur pada suatu kenyataan,
yang mencampakkan pada ketidak berdayaan Rasionalnya.
Ia tidak tahu dimana batas alam semesta yang demikian luas ini. Dan, di luar
batas itu ada apa. Ia juga tidak tahu bagaimana triliunan benda-benda langit
yang semuanya bergerak dan melesat dengan kecepatan tinggi itu bisa tertata
demikian rapi dan indahnya dalam keseimbangan yang sempurna.
Ia juga tidak tahu kapan terlahirnya alam semesta secara pasti, dengan cara
bagaimana, berasal dari mana, serta apa pula yang akan terjadi kelak.
Dan, masih begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan memuaskan.
Semuanya membuat pandangan kita menjadi nanar dan lelah. Meskipun kita telah
berulang-ulang mencoba memahaminya, tetap saja tidak bisa. Sebab kita hanya
menggunakan 'mata imajiner' yang terbatas. Persis seperti yang dikatakan Allah
dalam firmanNya.
QS. Al Mulk (67) : 3 - 4
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan
payah
Mata imajiner telah mencapai batas kemampuannya. Maka, sudah semestinya kita
gunakan mata spiritual yang lebih mengandalkan hati. Inilah yang digambarkan
Allah di dalam ayat-ayatNya yang lain.
QS. Al Hajj (22) : 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu
mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
QS. Al A'raaf (7) : 54
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada
siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan Nya pula) matahari, bulan
dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.
QS. An Nahl (16) : 12
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memahami (nya),
QS. Al Baqarah (2) : 255
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus-menerus mengurus (makhluk Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur
Kepunyaan Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at
di sisi Allah tanpa izin Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.
QS. Al An'aam (6) : 75
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada lbrahim tanda-tanda keagungan (Kami
yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu
termasuk orang-orang yang yakin.
QS. Jaatsiyah (45) : 37
Dan bagi Nyalah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
QS. Al Hasyr (59) : 23
Dia lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang
Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha
Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan,
Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.
QS. Al Ankabuut (29) : 63
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan
air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu
mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi
kebanyakan mereka tidak memahami (nya).
Ayat-ayat di atas memberikan gambaran bahwa alam semesta ini bukan tercipta
dengan sendirinya. Melainkan diciptakan oleh Allah. Sebenarnya setiap manusia
yang ‘mau jujur’, pasti akan bisa merasakan bahwa tidak mungkin alam semesta ini
ada dengan sendirinya. Kalau mereka ditanya : siapa pencipta alam semesta dan
segala isinya ini? Mereka pasti akan menjawab Allah. Namun kebanyakan mereka
mengingkarinya, karena berbagai alasan dan kesombongannya.
Kesadaran Spiritual memang sangat berkait dengan kejujuran hati. Bukan sekadar
kepintaran dan kecerdasan pikiran. Hati yang jujur dan hati yang mencari
kebenaran. Itulah kuncinya. Sepintar apa pun, kalau hatinya 'buta', tidak akan
bisa melihat kenyataan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Mereka
selalu mencari alasan untuk menyatakan bahwa alam semesta ini ada dengan
sendirinya. Padahal demikian nyatanya tanda-tanda penciptaan itu. Dan mereka
tahu itu. Tapi mereka berpaling darinya. Ini persis yang dikatakan Allah di
dalam firmanNya.
QS. Yusuf (12) : 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan.di bumi yang
mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.
Bukan hanya pada makrokosmos, tanda-tanda kebesaran Allah itu digelar. Pada
alam mikrokosmos pun para ilmuwan menemukan batas yang tak kalah 'mengerikan'.
Yang di balik batas itu manusia yang menyebut dirinya pakar, juga mulai tidak
faham.
Dulu manusia mengatakan bahwa benda di alam semesta ini tersusun oleh bagian
terkecil yang disebut atom. Kata atom memang berarti tidak bisa dibagi lagi.
Berasal dari kata atomos bahasa yunani.
Namun kemudian, manusia mulai kecele, ketika menemukan kenyataan bahwa atom
ternyata masih bisa dibagi menjadi inti atom dan elektron-elektron. Inti atom
bagaikan matahari dalam tatasurya kita, sedangkan elektron bagaikan
planet-planetnya. Semua benda ternyata tersusun dari inti dan elektron-elektron.
Sampai di sini sebenarnya manusia mulai merasakan adanya misteri di balik inti
atom. Benarkah inti atom juga tidak bisa dibagi lagi. Penemuan energi nuklir
pada abad 20 membuktikan bahwa inti pun ternyata bisa dipecah lagi menjadi
partikel-partikel sub atomik seperti proton dan neutron.
Lebih jauh, kemudian diketahui bahwa neutron juga bisa dibagi menjadi proton
dan elektron. Dan seterusnya kemudian diketahui bahwa bahwa partikel-partikel
sub atomik itu terdiri dari 'pilinan' energi yang disebut sebagai Quark.
Jadi sampai sekarang, para pakar atomik masih terbengong-bengong dengan
kenyataan ini. Bahwa, ternyata benda di alam semesta ini bisa dibagi-bagi dalam
ukuran yang tak terbatas kecilnya. Dan ketika dipecah-pecah lagi semakin kecil,
tiba-tiba sifat bendanya hilang berubah menjadi energi.
Hal ini mulai tampak pada elektron. Elektron adalah Salah satu jenis partikel
yang memiliki dua sifat yang membingungkan. Kadang tampak sebagai materi. Di
waktu yang lain tampak sebagai bola energi.
Ini, tentu saja sangat membingungkan. Karena, materi dan energi adalah dua
eksistensi yang berlawanan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang bisa memiliki
sifat berlawananan sekaligus. Materi adalah kuantitas, sedangkan energi adalah
kualitas. Saking bingungnya mengklasifikasikan elektron ini kuantitas ataukah
kualitas, akhirnya para pakar menyebutnya sebagai sifat dualitas.
Jadi, dalam skala mikrokosmos pun manusia mengalami 'kebingungan' yang sangat
substansial. Kemampuan mata imajiner dan Kesadaran Rasionalnya membentur dinding
tebal yang tidak bisa ditembusnya.
Tiba-tiba ada suatu batas yang di balik batas itu mereka tidak paham. Dan
'terpaksa' mengakui adanya Kecerdasan yang mengatur semua partikel dan energi.
Di saat itulah sebenarnya 'Kesadaran Rasional' telah kalah dan memunculkan
kesadaran baru, yaitu: 'Kesadaran Spiritual'. Seseorang menjadi paham, bahwa di
balik kenyataan ini ada suatu 'Aktor' yang mengaturnya. DIA adalah dzat yang
Suprarasional. DIA adalah Dzat yang hanya bisa dipahami dengan hati. Bukan
sekadar rasio, tetapi dengan menggunakan akal secara sempurna
QS. An Nisaa' (4) : 5
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
QS. Qashash (28) : 14
Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya
hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik.
Begitulah, ada akal yang belum sempurna, dan ada akal yang sudah sempurna.
Akal yang belum sempurna adalah akal yang belum bisa menangkap hikmah,
sebagaimana akal yang sudah sempurna. Musa memperoleh hikmah dan pengetahuan
setelah akalnya sempurna di usia dewasa.
Akal yang sempurna adalah yang telah bisa merangkaikan seluruh komponen akal
yang berkaitan dengan panca inderanya (Kesadaran Inderawi), berhubungan dengan
khasanah keilmuan empirik
(Kesadaran Rasional), dan juga tersambung dengan hati sebagai sensor kefahaman
(Kesadaran Spiritual).
Kefahaman 'Hati' lebih bersifat holistik. Di dalamnya terkandung makna-makna:
mengobservasi dengan panca indera (yandzurun), berpikir secara rasional
(yatafakkarun), dan memahami (yafqahun). Itulah yang disebut sebagai menggunakan
akal (ya’qiluun).
Keterbatasan rasio manusia semakin kelihatan ketika mencoba mengobservasi
proses-proses kehidupan. Darimanakah munculnya kehidupan? Bagaimana proses
kehidupan itu terjadi? Sebelum dan sesudah kehidupan itu apa dan bagaimana? Dan
seterusnya.
Sudah lama manusia ingin melihat nyawa. Seperi apa bentuknya. Darimana
datangnya? Dan kemana perginya? Tapi sampai hari ini tidak pernah kesampaian.
Sampai ada cerita tentang penguasa lalim yang mencoba membungkus hidup-hidup
seorang manusia dengan kaca sampai mati, karena ingin melihat keluarnya nyawa
dari badannya. Tapi, tidak berhasil juga melihat nyawa itu.
Di sisi lain, para filsuf dari zaman dulu sampai sekarang berusaha memahami
keberadaan Jiwa dan Ruh sebagai penggerak kehidupan, juga tidak pernah
memberikan hasil yang memuaskan.
Ya, telah berabad-abad lamanya manusia mencoba menguak rahasia terbesar dalam
drama kehidupan. Tapi sampai sekarang, rahasia kehidupan tetap tersimpan dalam
sebuah kotak gelap yang sangat misterius. Terutama bagi mereka yang ingin
memahaminya dari pendekatan rasional semata.
Sebagaimana pemahaman terhadap makrokosmos dan mikrokosmos, manusia membentur
dinding tebal yang misterius ketika mencoba menguak misteri kehidupan. Problem
utamanya sebenarnya bukan pada 'bisa atau tidaknya' misteri itu dikuak,
melainkan lebih pada 'sudah benarkah alat yang kita pakai untuk menguaknya'
Jika kita hanya menggunakan Kesadaran Rasional, maka sangat boleh jadi misteri
itu tidak akan pernah terkuak sampai akhir zaman. Sebab, Kesadaran Rasional
memang berfungsi hanya pada persoalan-persoalan empirik yang bisa diulang-ulang
secara kasat mata. Padahal, misteri di balik kenyataan itu adalah wilayah yang
tidak bisa dibuktikan secara empirik.
Bagaimana mungkin kita bisa membuktikan keberadaan batas batas alam semesta,
sementara usia peradaban manusia tidak cukup untuk membuktikannya? Bukankah alam
semesta ini sudah berusia miliaran tahun, sementara peradaban manusia baru
puluhan ribu tahun?
Demikian pula, diameter alam semesta itu demikian besarnya, sehingga (kalau
pun ada batasnya) kita tidak pernah bisa menjangkau wilayah yang berjarak
miliaran tahun cahaya itu. Meskipun hanya lewat
pandangan mata. Apalagi, ingin memahami apa-apa yang ada di luar batas alam
semesta itu. Ada sesuatu yang 'Maha Besar' yang menghadang 'penglihatan' kita
lebih jauh yang sekadar menggunakan mata imajiner dan rasionalitas.
Juga, agaknya kita tidak akan bisa membuktikan batas-batas mikrokosmos secara
mendetil karena keterbatasan kemampuan peralatan dan 'penglihatan' manusia.
Semakin kecil suatu benda, semakin sulit untuk menentukan posisinya.
Ada suatu ketidakpastian yang demikian besar ketika kita ingin sekadar
menentukan posisi suatu partikel, sebagaimana telah dibuktikan oleh Werner
Heisenberg, lewat teori Ketidak pastiannya. Apalagi, untuk membuktikan
keberadaan benda terkecil, agaknya bakal menjadi mimpi belaka.
Sebab pada skala terkecil keberadaan benda itu telah muncul kerancuan yang
membingungkan antara materi dan energi. Antara kuantitas dan kualitas. Antara
'nyata' dan 'maya'. Bahkan antara 'ada' dan 'tiada'. Manusia dihadang oleh
sesuatu yang 'Maha Halus' dan misterius untuk mengeksplorasi apa-apa yang ada di
balik kehalusan struktur materi dan energi.
Dan akhirnya, bagaimana mungkin manusia ingin melihat sumber kehidupan, karena
'kehidupan' itu sendiri muncul bukan sebagai materi dan energi. la muncul
sebagai 'Kehendak' yang bisa 'mengatur' dan 'mengarahkan' dirinya sendiri.
Mengendalikan proses-proses material dan energial yang mengiringi kehidupan itu,
bahkan di luar kesadaran si pelaksana kehidupan. Manusia bukanlah pemilik
kehidupan, melainkan sekadar pelaksana belaka.
Orang-orang yang hanya berkutat pada pemikiran materi dan energi belaka tidak
akan pernah menemukan esensi kehidupan. Kita tidak pernah tahu kenapa jantung
kita terus berdenyut sepanjang hayat.
Kita juga tidak pernah tahu kenapa organ-organ seperti paru-paru, liver,
ginjal, sumsum tulang belakang, otot, darah, sel beserta kromosom, rantai
genetika, dan lain sebagainya mesti ada.
Kita juga tidak tahu kenapa kita bisa berpikir, memahami, menganalisa, dan
menyimpulkan. Dan yang lebih misterius lagi kenapa kita memiliki 'kehendak'
untuk hidup, untuk beraktivitas, untuk menjalani kebaikan dan keburukan. Dan
seterusnya, dan seterusnya. Dari manakah munculnya kehendak itu?
Di sini, kembali kita dihadang oleh sebuah kekuatan yang "Maha Hidup' dan
'Maha Berkehendak' yang menjadi sumber dari kehidupan itu sendiri. Mata imajiner
dan rasio kita lagi-lagi tidak mampu menangkap 'Sosok' di balik kehidupan itu.
Kecuali kita menggunakan mata spiritual dalam memahaminya.
Mata spiritual bekerja tidak hanya berdasarkan inderawi. Juga tidak hanya
bekerja berdasarkan ilmu empirik. Tapi bersandar pada kejujuran dan rendah hati,
kehendak menuju pada kebenaran, serta keyakinan spiritual yang bersumber pada
informasi ilahiah.
Bagaimana mungkin kita memperoleh informasi tentang kehidupan sesudah mati,
jika kita tidak membacanya dari dalam Al-Qur’an? Bagaimana mungkin kita bisa
memahami tentang struktur langit yang tujuh, kalau kita tidak menggalinya dari
firman Allah? Bagaimana pula kita bisa memahami Jiwa dan Ruh, kalau kita tidak
bersandar kepada sang Empunya Kehidupan?
Begitulah memang cara bekerjanya Kesadaran Spiritual. Bersumber dari informasi
ilahiah, kemudian dipahami oleh 'akal sempurna' lewat mekanisme inderawi, ilmu
empirik rasional, dan hati. Kesimpulan dari semua itu akan menghasilkan sebuah
'Kesadaran' yang demikian tajam, luas sekaligus lembut...
Maka, Tutuplah, Tinggalkanlah Panca Inderawimu yang Payah Itu,
Raihlah Kesadaran Yang Hakiki, Kesadaran Illahi Robbi...
Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh
ReplyDelete