Friday 4 September 2015

BERAWAL DARI HUU



Dalam buku The Music of Life karya Hazrat Inayat Khan seorang sufi asal India yang banyak meneliti tentang muzik dan mistik suara, menulis, bahwa Sang Mahakuasa yang dipanggil dengan beragam nama dalam agama maupun aliran spiritual itu, bermuara pada satu sebutan yaitu Huu. Inayat menyimpulkan ini, setelah melakukan penjelajahan pengalaman dan pengamatan serius terhadap konsep suara. Baginya, kenyataan material maupun spiritual, berawal dari suara. Vibrasi yang merambat melalui ruang dan waktu memadat jadi bentuk-bentuk dan rasa-rasa. Maka suara menjadi dasar atas segala keadaan atau kejadian. Menjelma warna, kata juga benda-benda.

Huu adalah inti suara, lantas menlahirkan beragam keadaan, baik yang terdeteksi indera maupun yang bersifat spiritual. Pada kisaran frekuensi tertentu, suara mewujud menjadi kayu, besi, batu-batu dan semacamnya. Dalam fase yang lain, suara juga menjelma sebagai denyut perasaan, kegelisahan, amarah, kepedulian dan sebagainya. Hu merupakan awal dan akhir dari sebuah bunyi yang disebabkan pergerakan benda.

Pada pemahaman mistik sufisme yang didalami Inayat, Hu merupakan abstraksi dari apa yang disebut kehidupan. Termasuk desis nurani, ketika seseorang berdoa atau mengeluh. Nama dari semesta sesungguhnya, dan bukan buatan manusia.

Inayat lalu menarik tafsir, bahwa semangat ketuhanan, sebagaimana yang terekam pada narasi kitab suci, diperolehi melalui interpretasi atas suara kosmik. Intisari suara atau Hu adalah simbol abstrak yang berusaha di mengerti manusia dalam perjalanannya mengenal Sang Kuasa.

Yang dilakukan Inayat, sesungguhnya adalah menjabar pemahaman tentang konsep Tuhan, lewat jalur kebudayaan. Inayat tidak sedang bersimulasi sekadarnya. Dia pemusik, sufi sekaligus peneliti yang telaten dan tidak main-main. Dia menyelami lautan tanda tanya, untuk mengerti, apa yang sebenarnya di maksud dengan Tuhan itu.

Hu adalah sebuah kata dari bahasa sansekerta yang berarti “memohon, menyeru”. Tentunya, ini mencengangkan. Sebab memohon atau menyeru adalah kerja pada manifestasi suara, meski batin sekalipun.

Proto-Indo-Eropa, sebagai rumpun bahasa tua dunia, memiliki sebuah kosata yang menyerap lema Hu dengan ghut artinya “Sesuatu yang dipanggil”. Ketika diserap dalam Bahasa Proto-Germanic, ghut berubah menjadi guthan. Oleh bahasa Norse Tua, yang digunakan bangsa viking dibilangan Skandinavia, ghutan diserap menjadi Gud. Hingga menempel pada bahasa Inggris kuno sebagai God, yang berlaku hingga masa Inggris Modern. Semua mempunyai arti yang sama, yaitu “Sesuatu yang dipanggil, Sumber permohonan”. Kata God sendiri, untuk pertamakalinya digunakan pada manuskrip kuno, Codex Argenteus (silver book) pada abad ke-6 dalam bahasa Gothic, ditulis guĆ¾.

Terdapat pola saling jalin yang sinambung. Kata God yang dipakai hingga kini itu, merupakan jelmaan dari simpul temali bahasa yang sumbernya dari sanskrit. Huu telah mengalami evolusi eja dan tulis, terserap pada beragam bahasa, lalu memuncak padaGod yang tenar sebagai pembahasaan atas Sang Khalik.

Kata Hu juga turut mempengaruhi istilah penting lain. Sebutlah Human. Akarnya masih sama, berinduk kepada sansekerta. Merupakan gabungan dua kata yang saling melengkapi, Hu dengan arti seperti dijelaskan diatas dirangkai dengan kata Manu yang artinya “ciptaan, makhluk yang cerdas”. Tentu terdapat hubungan antara keduanya. Jika Hu diurai dengan penerjemahan lugas yang berarti “Pencipta”, lalu Manu adalah “ciptaan berdayapikir”, maka pengartian “Human” seperti pemahaman terkini, sudah cocok adanya.

Pada sisi yang lain, bahasa Indonesia juga mengenal kata “manusia” yang didalamnya terkandung Manu pula. Khusus untuk kata manusia, diserap utuh dari khasanah sanskrit, yaitu “Manusya” dengan arti yang sama dengan Human pada Bahasa Inggris. Manusya diterjemahkan sebagai Ciptaan yang berakal budi, Mankind.

Istilah Hu juga termaktub dalam mitologi-mitologi. Misalnya, Hikayat Tehuti di mesir kuno. Menurut cerita itu, Hu adalah penyuaraan “Mantra agung”, untuk memuja Kekuatan Supranatural tertinggi. Manuskrip Old Kingdom Pyramid texts, yang diperkirakan ditulis pada 400-2300 SM, menyebut kata itu dengan dengan ejaan “HW”dibaca “HU”. Tentu saja peneraannya menggunakan huruf hieroglyph. Mantra tersebut dimaksudkan untuk memuja sebuah “Ide besar, Penciptaan”. Dalam senirupa mesir kuno, ide besar penciptaan tadi dilambangkan dengan dengan Manusia berkepala burung. Perwujudan visual yang oleh orang Mesir dipanggil dengan nama Toth. Dikemudian waktu, kata ini diadopsi bahasa Inggris menjadi Thought, artinya memahami lewat pikiran.

Nama Tehuti, merupakan paduan dari tiga kata yaitu Te, Hu, dan Ti. Ketiganya berinduk pada bahasa Proto-Indo-Eropa. Te artinya “kamu”, kemudian bahasa inggris menyerapnya sebagai The. Deret selanjutnya, kata Hu, diartikan “Yang tak terjelaskan” dan terakhir, Ti artinya Dia. Sehingga lengkapnya, Te-Hu-Ti diterjemahkan menjadi “Kamu adalah HU”, “kamu adalah Dia”.

Mitologi Iran yang merupakan turunan budaya Persia juga menyinggung lema Hu pada simbol-simbol kebudayaannya. Sebut saja Huma, sebuah simbol tentang makhluk surgawi yang digambar menyerupai burung Phoenix. Kata huma dalam mitologi itu, berasal dari Humaya, bahasa iran kuno (Indo Iranian) yang merupakan gandengan dari dua kata, Hu yang berarti “Semangat Ilahiyah” dan Maya yang artinya air. Burung itu memang dimaknai sebagai lambang tentang arus spiritualitas yang bening mengalit seperti air , menuju Ilahi. Selain itu, pada masyarakat Iran kuno, Huma juga diapresiasi sebagai simbol keberuntungan.

Pada tradisi sufistik Iran awal, upaya-upaya pencapaian kebahagiaan dalam laku spiritual, diilustrasikan seperti halnya manusia yang berusaha meraih burung Huma. Dia yang berhasil menangkapnya akan bahagia juga beruntung.

Demikian pula, pada kisah-kisah lain yang tersebar didunia. Unsur Hu diambil untuk menandai sesuatu yang istimewa. Misalnya, Terompet Kresna dalam epos besar Mahabharata, di deskripsikan sebagai media untuk mendengungkan suara yang berbunyi Hu. Kosmologi Tibet juga menyertakannya, seperti yang dilukar oleh Giuseppe Tucci, peneliti kebudayaan dan sejarah tibet, yang menulis buku The Religions of Tibet. Dia melansir bahwa orang tibet mempercayai alam semesta tercipta dari “napas” Tuhan yang bernada “Hu Hu” sehingga seluruh karsaNya terbangun dengan indah.

Bahasa Indonesia, memilih kata Tuhan sebagai bahasa representasi atas eksistensi Sang Mahakuasa. Pada sebuah artikel yang pernah termuat di Harian Kompas, ahli bahasa Remy Sylado, menjelaskan dengan menarik mengenai riwayat kemunculan kata ini. “Tuhan” diambil dari kata “Tuan”. Terselipnya huruf “h” diantaranya adalah kasus biasa yang banyak terjadi dalam bahasa Indonesia. Seperti ‘asut’ menjadi ‘hasut’, ‘utang’ menjadi ‘hutang’, ‘empas’ menjadi ‘hempas’, ’silakan’ menjadi ’silakan. Menurut remy, ini terjadi seiring dengan kasus nominatif dan singularis dalam tatabahasa Sansekerta ke Kawi dan Jawa. Misalnya tertulis ‘hana’ dibaca ‘ono’, ‘hapa’ dibaca ‘opo’.

Adalah Melchior Leijdecker, seorang pendeta tentara yang berlatar pendidikan kedokteran, atas perintah VOC, yang menginisiasi pemisahan kata Tuhan dan tuan. Pada masa sebelumnya, Kata tuan, ditulis dalam ejaan kala itu , “toewan”, dimaknai ganda. Toewan bisa berarti Tuhan seperti yang dipahami sekarang, sekaligus “tuan” yang setara dengan kata majikan, pada konteks manusia. Lalu lewat pertimbangan Leijdecker, makna kedua kata itu dibedakan dengan jelas. Meskipun sama-sama bermakna sebagai sesuatu yang dijadikan curahan pengabdian, namun kata Tuhan kemudian menempati posisi tertinggi, dikarenakan sifat keilahian yang disematkan, sedang “tuan” dicukupkan pada konteks insani, makhluk ciptaan ilahi.

Lema tuan sendiri, bukan kata yang baru bagi penghuni kepulauan ini. Melayu menggunakannya, demikian pula Jawa. Setelah ditelusur, istilah itupun tidak murni satu lema, tapi merupakan gabungan dua kata yang induknya sama-sama ke sansekerta. Keduanya adalah Tu dan Van. Tu artinya Pemberi kasih sayang, yang oleh bahasa Ingris diterjemahkan dengan “God of Love”. Lalu bersertanya, kata “van” yang kemudian diserap menjadi “wan”, artinya “pujian”. Tuwan (toewan) pada perjalanannya, digunakan sebagai sapaan. Letaknya berada didepan nama seseorang yang dihormati. Semacam sebutan Paduka, Yang mulia, Yang tercinta atau Tulisan penyapa pada surat masa kini : Yang terhormat (Yth).

Konon, Tu adalah kata yang akrab dengan kebudayaan nusantara. Dugaannya, karena pengaruh paham “Kapitayan” yang disinyalir pernah besar dan dianut oleh sebagian besar penguhuni kepulauan ini dimasa lalu. Ajaran spiritual yang meyakini adanya Zat penguasa mutlak disifatkan sebagai “Tan Keno Kinoyo Ngopo”, tak bisa diperkirakan, tak mampu diapa-apakan. Bahkan, bisa jadi, “Tan Keno Kinoyo Ngopo” juga bermakna “Yang tak mampu dinamai” karena agung dan sucinya. Apakah pemaknaan ini juga yang mendasari kenapa para ahli bahasa sebelum Leijdecker kebingungan mencari padanan kata God ?

Manifestasi atas penyifatan adikodrati yang dianggap sumber segala sumber itu, terpancar pada segala hal yang punya unsur kata Tu dan To. Baik yang negatif atau positif, hakikinya berangkat dari awal yang sama. Pemeluk Kapitayan meyakini adanya kekuatan supranatural pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ban, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, tu-rumbuhan, to-san, to-pong, to-parem, to-ya. Saat melakukan ritual pemujaan, para penganut kapitayan juga menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu. Barangkali, sistem kepercayaan dan tatacara peribadatan seperti inilah, oleh para pelancong kemudian disebut sebagai animisme dan dinamisme.

Dari sebuah kata Hu kemudian hari orang mengenal God, kemudian Tu menjadi Tuwan hingga Tuhan. Layaknya resonansi ide yang menggelinding lalu setidaknya, beginilah gambaran, bagaimana kebudayaan dari masing-masing peradaban berusaha melakar misteri keberadaan Sang Pencipta, menafsirnya lewat nama-nama. Mencicil pemahaman tentang Tuhan melalui rangkai riwayat kata.



Dipetik dan diubahsuai daripada : http://sufirangga.blogspot.com