Sunday 12 April 2015

TUJUH TINGKATAN JIWA

Alam ini disebut an-Nur-ul-Muhammad, makhluk pertama, yang juga disebut al-‘aqlu
kull, Akal Mutlak, yang berisi potensi segala eksistensi. Menurut para filsuf
Yunani kuno, alam Akal ini terdiri dari tiga aspek.
Pertama: eksistensinya.
Kedua: kebergantungan eksistensinya terhadap suatu kekuatan kreatif dan
Ketiga: keberadaannya sebagai sebuah eksistensi yang bersifat mungkin yang mencakup segala
kemungkinan yang lain.


Dari aspek eksistensinya, akal diciptakan,
Dari kebergantungannya pada kekuatan
kreatif, nafs (jiwa) diciptakan. Nabi s.a.w. bersabda: Makhluk pertama yang
diciptakan Allah adalah akal (Awwalu m khalaqa All h- ul-‘aql). Inilah ‘aql-ul-kull, Akal Mutlak, alam Akal, logos dalam istilah para filsuf Yunani kuno.


Akal yang diciptakan dari aspek eksistensinya berada dalam dua tingkatan. Yang
lebih rendah adalah ‘aql-ul-ma‘asy, Akal biasa yang mengetahui urusan-urusan dunia
material. Yang lebih tinggi adalah ‘aql-ul-ma‘ad, Akal Ilahi, yang mengetahui
urusan-urusan spiritual. Fungsi utamanya adalah mendorong manusia mengenal Allah
dengan cara mengetahui rahasia “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu,” “orang
yang mengenal dirinya sendiri berarti mengenal Tuhannya.”


Menurut para filsuf Yunani kuno, semua esensi imaterial, yang tidak dapat
dikonsepsi oleh indra, dan yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan eksistensi
material, berada di dalam alam Akal. Bagian kedua alam semesta adalah alam nafs,
Jiwa (jiwa segala makhluk). Kekuatan dan kesempurnaan an-nafs-ul-thabi‘i, jiwa
alam, yang mempersatukan semua makhluk dan mencegahnya dari perpecahan, dan an-
nafs-un-nabati, jiwa tumbuhan, membantu makhluk untuk berkembang, tumbuh, dan
beranak-pinak. An-nafs-ul-hayawani, jiwa hewani, membantu makhluk untuk bergerak,
mengindra, dan memiliki kehendak yang terbatas. Ketika jiwa ini terpisah dari
makhluk, kematian pun terjadi.


Alam an-nafs mencakup an-nafs-un-nathiqah, jiwa manusia. An-nafs-un-nathiqah
bersumber dari Tuhan, ketika Allah meniupkan napas-Nya sendiri kepada Adam a.s.,
ketika Adam diciptakan dari tanah, air, api dan udara. Allah berfirman dalam sebuah
hadis qudsi:
Wa naffastu f h min r h
Dan Aku tiupkan roh-Ku ke dalam dirinya.

An-nafs-un-nathiqah adalah kekuatan dan kesempurnaan yang memampkan manusia untuk
berpikir, memutuskan, menyaksikan, dan berada.

Ia berkembang dalam tujuh tingkatan, dari an-nafs-ul-ammarah, jiwa yang menguasai
yang disebutkan al-Qur’an sebagai:
Inn-an-nafsa la amm ratun bis-s ’

Sesungguhnya nafs, jiwa manusia, selalu memerintahkan
Kepada kejahatan.
(Q.S. Y suf 12:53)
Inilah jiwa manusia yang berdosa yang mencari kepuasannya dalam hasrat-hasrat
duniawi yang lebih rendah.

Wa l uqsimu bin-nafs-il-laww mah.

Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali
(dirinya sendiri)
(Q.S. al-Qiy mah 75: 2)

Pada tahap ini, jiwa mampu memutuskan mana yang baik dan mana yang jalan, ia
menyadari ia menyadari dosa yang terkadang ditentangnya: ia menerima kesalahannya,
bertobat, dan berupaya menebusnya.

Tingkatan ketiga adalah an-nafs-ul-mulhimah, jiwa tercerahkan, yang disebut
sebagai:
Wa nafsin wa m saww h fa alhamah  Fuj rah wa taqw h .

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
Dan ketakwaannya.
(Q.S. asy-Syams 91: 7-8)
Pada tingkatan ini, jiwa mengetahui yang benar dan yang salah melalui ilham, dan
mematuhi suara hati nurani.

Tingkatan keempat adalah an-nafs-ul-muthma’innah, jiwa yang beroleh rahmat dan
keselamatan yang disebutkan dalam al-Qur’an senagai:
Y ayyuh-an-nafs-ul-muthma’innah, irji‘ il rabbiki R dhiyatan mardhiyah

[Kepada jiwa yang baik akan dikatakan]
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
Dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”
(Q.S. al-Fajr 89: 27-28)

Tingkatan kelima adalah an-nafs-ur-radhiyah, jiwa kepasrahan total, jiwa muslim
hakiki, jiwa yang benar-benar patuh, seperti yang disebutkan sebagai:
Radhiya All hu ‘anhum wa radh ‘anhu.
“Allah meridai mereka dan mereka rida kepada-Nya.”
(Q.S. al-M ’idah 5: 122)
Inilah jiwa yang menerima dan rida terhadap kehendak Allah dan mutlak kepada-Nya.


Tingkatan keenam adalah an-nafs-ul-mardhiyah, jiwa yang dekat kepada Penciptanya.
Jiwa yang diridai Allah, seperti yang disebutkan dalam Q.S. al-Fajar 91: 27-28,
Q.S. al-Ma’idah 5: 122 dan Q.S. al-Bayyinah 98: 8. Inilah tahapan ketika jiwa
menerima keridaan Allah dan keridaan itu bersifat timbal balik. Jiwa secara utuh
menjadi menyatu dengan kehendak universal Allah. Dengan kehilangan kehendaknya
sendiri, jiwa berada dalam sifat fan ’ fill h, lebur di dalam Allah.


Tingkatan Ketujuh adalah an-nafs-ul-kalmilah, jiwa manusia, adalah an-nafs-uz-zakiyyah atau an-
nafs-ul-kamilah, jiwa sempurna yang disucikan yang disebutkan dalam al-Qur’an
sebagai:
Qad aflaha man zakk h .

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan
Jiwanya.
(Q.S. asy-Syams 91: 9)
Inilah jiwa al-insan-ul-kamil, manusia sempurna, manusia sejati, mikrokosmos
keseluruhan alam semesta, yang mencakup segala sesuatu di alam semesta.

Alam nafs, jiwa, dan alam an-nafs-un-nathiqah, jiwa manusia, tidak mempunyai
bentuk atau dimensinya sendiri, tetapi menempati bentuk-bentuk material, dan

bereksistensi di dalam alam-materi. An-nafs-un-nathiqah, jiwa manusia (atau
rasional), berada di dalam wujud spiritual, cakrawala, dan di dalam manusia. Ia
mempunyai dua jenis.
Pertama, yang menempati jisim juga terdiri dari dua jenis,
etereal dan elemanta. Cahaya yang lebih tinggi dan lebih kuat adalah ar-ruh-ul-
quddus, Roh Suci, yang oleh para filsuf disebut al-‘aql-ul-af‘al, Akal Aktif, yang
tak ubahnya pembimbing setia yang membimbing manusia secara rahasia, memberi bekal
kepada roh manusia, dan mengarahkan kita kepada pengetahuan yang sempurna.

Semua ini adalah cahaya suci, namun eksistensi yang paling awal diciptakan adalah
al-‘aql-ul-awwal, Akal Pertama dan Universal, an-nur-ul-muhammadi, Cahaya
Muhammad, yang melaluinya merambat sinar Cahaya Pertama. Ketika sinar Cahaya
Pertama semakin terpantul dari hati ke hati tanpa kata-kata atau huruf, Akal
meningkat, dan melalui wahyu pencerahan ini, menjadi beraneka ragam.


Karena kita menerapkan hukum sebab-akibat, cahaya yang diturunkan kepada kita ini,
yang memantul dari hati ke hati, begitu dekat kepada kita. Pada hakikatnya, karena
kekuatan intensitasnya yang luar biasa, apa yang terjauh menjadi seolah-olah
paling dekat kepada kita. Yang paling dekat adalah Cahaya Tertinggi. Tidakkah anda
lihat bahwa dua buah titik, salah satunya hitam sedang yang lainnya putih, yang
terletak pada jarak yang sama, maka yang putih terlihat lebih dekat kepada kita?
Yang putih adalah paling jelas yang bisa dilihat. Cahaya Pertama merupakan cahaya
yang paling tinggi dan paling dekat.


Segala puji bagi Dzat Suci, Sumber, Sebab segala sesuatu, Maha Suci dari segala
kekurangan, Maha Sempurna, Tertinggi di atas segalanya; lebih jauh daripada yang
paling jauh, tetapi lebih dekat daripada yang paling dekat karena daya tembus
cahaya-Nya yang luar biasa.

Altar-altar Cahaya (Suhrawardi Al Maqtul)

No comments:

Post a Comment