Segala sesuatu yang ditangkap atau direkam pancaindera lahir itu berupa benda, sudah tentu menyimpan gambaran gambaran yang serba materialistis.
Pikiran yang demikian disebut pikiran yang materialistis. Daya yang ada dipangkal otak itu menjelmakan nafsu nafsu, maka pikiran yang materialistis tadi akan berbaur lagi, menjadi nafsu keinginan, kebencian, kemurkaan dan sebagainya.
Kemudian mengalir lagi ke pusat kemauan dengan melalui urat syaraf menuju otak untuk melakukan perbuatan. Karena daya pikiran bercampur dengan daya nafsu, maka dinamai roh hewani. Manakala nafsu nafsu ini tanpa kendali, ia akan terus bergelora dalam jiwa, laksana api yang menjilat jilat tanpa ada alat pemadamnya. Nafsu yang bersifat seperti api ini, sudah wajar kiranya bila saling bergetar atau berresonansi dengan yang sejenis, serupa jin/iblis.
Dari sinilah, berpangkal aneka perbuatan keji, sadis dan semacamnya yang semakin merajalela. Bagi orang yang Menahan Hawa Nafsu tentunya dapat mencegah pengaruh daya setaniyah yang selalu mempengaruhi alat pancaindera, sekaligus dapat mengendalikan gerakan-gerakan perbuatan jasmaninya.
Ia dengan elektron elektron yang bebas dalam tubuh jasmaninya tengah bermunajat kehadirat Tuhan, tekun, dan taat, berupaya terus melawan godaan hawa nafsu ini. Maka barulah Allah akan memberikan cahaya “Nur” yang dilimpahkan pada mata hati dan anggota tubuh kita.
Sehingga berkat Nur, kita diberi komando untuk mengerjakan yang baik baik saja, terjauh dari amal perbuatan lahiriyah yang tidak diridhaiNya. Atau dengan perkataan lain, karena daya-daya pikiran kita sudah mengandung sinar Tuhan (Nurullah), berarti daya-daya pikiran dan segala perbuatan serta tindakan mendapat bimbingan, sehingga takkan mudah dipengaruhi atau dapat mencegah kegiatan hawa nafsu.
Sebenarnya, inilah martabat hamba-hamba yang saleh. Jika kita menahan diri, minimal kita berupaya, dengan niat ikhlas, berusaha pula agar Menutup semua Pintu Panca inderanya, sehingga bio elektro yang berpangkal pada otak tidak lagi berhubungan dengan dunia luar tubuh.
Tak ubahnya ia tiada berkehendak berbagai tuntutan materi, dengan kata lain tidak memperhatikan lagi keadaan disekitarnya. Dikala otak tidak lagi menerima beban daya tambahan dari penginderaan, maka dengan sendirinya bio elektron terlepas dari ikatannya, yang berarti seluruh pribadinya memutuskan hubungan dengan dunia luar. Selanjutnya, kerja otak menjadi otonom, selalu bergerak, bergetar, berputar putar tiada henti untuk menambah tenaga. Namun pada saat itu dengan kehendak sendiri otomatis elektron tadi berhenti berputar, lantas menjadi lenyap dan kembali menjadi aether; seperti halnya air yang pada mulanya beralun, bergelombang dan berputar lalu secara otomatis diam dan tenang.
Bio-electron yang sejenak berhenti berputar pada otak, maka daya pikiran yang semula berbentuk pikiran materialistis lalu berabstraksi (anima abstraktiv ) menjadi pikiran yang halus disebut ruh pikir (corpus mentalis)
Kehebatan pikiran yang seperti ini bisa memanjat ke alam abstrak dan memberi sinar kepada pikiran. Sinar yang berasal dari alam abstrak tadi diterima oleh pikiran disebut “sinar batin” Nurullah.
No comments:
Post a Comment