Disaat ber-Tawajjuh menghadap Allah maka urat syaraf tidak lagi menerima impuls listrik yang datang dari Panca indera. Karena pancaindera telah tertutup semuanya tidak menerima tuntunan yang bersifat material, yakni tidak menerima rangsangan dari luar/tubuh jasmani, sehingga daya-daya ini menjadi otonom dan lambat laun memasuki alam yang immaterial yang menimbulkan pikiran yang normatif, pikiran yang abstrakeerend (anima abstractiva). Yang merupakan syarat utama untuk memasuki alam Tuhan, alam Wahdaniyah, yaitu daya daya pikiran yang berfungsi intuitief. Jadi daya-daya listrik hidup dalam potensi, lalu berlangsung proses ulangan system of relays yang melepaskan elektron hidup (bio electronen).
Sebagaimana juga daya listrik pada setiap benda pengantar daya listrik (electrische geleider) merupakan daya dalam potensi. Apabila daya listrik tadi mengatur di dalam kawat, maka disekitar kawat itu segera timbul medan daya magnet (magnetische krachtveld). berdasarkan hukum penarik sumbat.
Dalam Menutup Panca indera, otak tidak bekerja lagi, karena daya bio electronen yang berada dalam otak telah tertumpah mengalir ke dalam ruang budhi (de geestelijke kracht) yang menjelmakan menjadi sinar rohani (meta energi). Kalau khusyu' (tenang) dalam diri, maka meta energinya pun akan mempunyai antena yang tinggi.
Antena yang rendah walaupun dapat menangkap suara, tetapi bunyinya terganggu atau feeding, akan tetapi antena yang tinggi akan menangkap suara yang terang jelas dari alat penyiar radio (radio zinsder).
Demikian juga meta energi yang tinggi yang mencapai taraf “mutmainnah” (zule vreede) mempunyai daya tembus luar biasa yang dapat dipancarkan ke alam jagat raya. Dalam kitab “We onbekende Mensch ontaarding of vernienwing”, hal 318, oleh dr. Alexis Carrel, menyebutkan: “ziyn guest omvat met be hull) van mathematishe abstractics zowel de electronen als de sterren “, artinya: “Rohaninya yang mutlak dengan perhitungan dapat mendekati electron electron maupun bintang bintang”. Maka, disaat berada di dalam diri itu benar benar sadar atas dirinya dan kesadaran terhadap Yang Maha Kuasa (Allah).
Sehingga terpancarlah kesadaran batinnya, bahwa yang dinamakan manusia adalah rohaninya, sebagaimana juga disebutkan dalam kitab “Leber das Wesen und den ursprung des Menschen”, hal 21 oleh Shoseki Kaneko: “In Ganzheid in Allheid ist der Menscherst wirklicht er selbst”, artinya: “Pada kesimpulannya maka manusia menyadari atas pribadinya”.
Jadi kesimpulannya mereka sendiri ber i’tikaf di dalam masjid dirinya akan menimbulkan:
1. Kesadaran atas diri sendiri yang bersifat jasmani (het lichamelijk zielbewustzijn).
2. Kesadaran atas diri sendiri yang bersifat rohani (het psychisch ziel berwutzijn). Kedua kesadaran tersebut sebagai totalitas yang dinamakan “het zuiverzielfbewust zijn” ialah kesadaran yang murni.
3. Kesadaran jagat (het cosmesche berwustzijn).
Berkumpulnya tiga kesadaran ini dinamakan Roh Rabbani (aetheris lichaam) yakni sinar Allah memancar kepada pribadi orang yang ber-Tawajuh. Dalam kitab: “De Religie Vanden Islam” hal. 127 oleh Maulana Muhammad Ali M.A.L.L.B., menyebutkan: “Roh Rabbani berasal dari suku kata Robb, berarti pencipta dari segala yang maujud dari yang menyempurnakan.”
Di waktu sinar Allah memancar ke dalam pribadinya, maka disaat itulah yang ber-Kontemplasi menutup Panca inderanya menerima “Nurullah” (het goddelijke in denmens). Yang dipantulkan ke alam Malaikat sebagai zat pembawa Nurullah atas pribadi orang tersebut, berupa intuisi (ilham, lah dunni, kasyaf), baik yang “Infra” maupun yang “Supra”. Serangkaian tatanan integral dalam munajat Khalwat dan madhah sebagai titian menelusuri titik sumber yang tanpa batas.
Firman Allah Azza wa Jalla
“Allah mengaruniakan rahmat (shalawat) atasmu beserta para MalaikatNya untuk melenyapkan gelap menjadi terang benderang atasmu Dan Allah pengasih atas mereka yang beriman. Ucapan mereka tatkala menemui Alam Wahdaniyah (A Halt): “Selamat Allah menyediakan atasmu pahala yang besar (mulia). ” (Al. Ahzab ayat 43, 44)
No comments:
Post a Comment