Seseorang memperoleh pengetahuan dari inderawinya jika ia menyadari dan
bisa memahami diri dan lingkungan sekitamya dengan bertumpu pada fungsi panca inderanya.
Ia bisa memahami apa yang dilihatnya. Ia bisa mengerti segala yang didengamya.
la bisa menikmati apa-apa yang dibau oleh indera penciumannya, dikecap oleh
lidahnya, dan dirasakan oleh kulitnya.
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan dari inderawinya, maka ia memperoleh nuansa
pemahaman terhadap segala yang terjadi sangat 'riil'. Dan cenderung
materialistik, sombong membuat orang merasa telah mengetahui segalanya, merasa banyak ilmu.. Seringkali, di antara kita bertumpu kepada kemampuan inderawi secara berlebihan. Sehinnga kita tidak Mau Mendengar, Memahami, dan Melihat Petunjuk dari Allah SWT.
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(QS al-Jaatsiyah [45]:23)
kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui, dan sekali-kali kami tidak dapat menjaga (mengetahui) barang yang Gaib. (QS. 12:81)
Sesungguhnya mereka akan bertemu dgn Tuhannya,akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yg tidak mengetahui.(Qs.11:29)
Kadang kita hanya percaya kepada sesuatu jika sesuatu itu bisa dijangkau oleh
indera. Kita hanya bisa memahami jika telah melihat dengan mata kepala sendiri,
atau telah mendengarnya, mencium dan merasakannya. Sesuatu yang tidak terdeteksi
oleh panca indera, bakal tidak kita akui sebagai keberadaan. Atau
setidak-tidaknya, kita tidak merasa perlu untuk memikirkannya, dan kemudian
mengacuhkannya.
Orang yang demikian sebenarnya telah terjebak pada pola pikir materialistik
dan terbelakang. Kenapa demikian? Sebab, ternyata sistem kerja inderawi kita
sangatlah terbatas. Sehingga, lucu juga, kalau kita bergantung kepada yang
sangat terbatas itu untuk memahami realitas. Pasti hasilnya juga akan begitu
terbatas dan menipu. Semakin rendah kualitas inderawi kita, maka semakin jelek
juga hasil pemahaman kita.
Sebagai contoh, apa yang terjadi pada orang yang buta warna. Kalau seorang
penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada di sekitarnya
adalah seperti kefahamannya, maka Anda pasti akan menertawakannya. Sebab orang
yang buta warna memang tidak faham bahwa alam sekitarnya berwarna-warni.
Pada orang yang mengalami buta warna total, ia hanya bisa memahami dunia dalam
warna hitam-putih atau abu-abu saja. Gradasi warna merah, jingga, kuning, sampai
putih, baginya hanya terlihat sebagai warna abu-abu tua sampai abu-abu muda, dan
paling ekstrim adalah putih. Atau sama sekali tidak berwarna, alias hitam.
Padahal bagi kita yang tidak buta warna kita melihat bahwa dunia ini berwarna
warni demikian indah. Tidak seperti yang dia fahami lewat keterbatasan
penglihatannya. Ia telah terjebak pada keterbatasannya sendiri. Dan bersikeras
bahwa alam sekitar adalah seperti yang dia fahami.
Kalau kita mau introspeksi, sebenarnya penglihatan kita pun demikian
terbatasnya. Bahkan, pada orang yang memiliki penglihatan paling 'sempurna'
sekalipun. Karena, sistem kerja penglihatan kita ternyata demikian menipu. Tidak
menceritakan yang sebenarnya terjadi. Apa yang kita lihat sebenarnya bukan
realitas.
Sesungguhnya antara kenyataan dan apa yang kita lihat atau kita pahami adalah
2 hal yang berbeda. Kita bukan melihat benda yang sesungguhnya, kecuali sekadar
bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata kita, diteruskan ke retina, dan
kemudian ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik belaka.
Sehingga, pusat penglihatan di otak kita itu pun sebenarnya tidak pernah
berinteraksi langsung dengan benda yang kita lihat. Sel penglihatan di otak
hanya berinteraksi dengan pulsa-pulsa listrik yang berasal dari retina. Jadi
kalau pulsa-pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu
bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut.
Jadi, kefahaman yang disimpulkan oleh sel penglihatan itu sangat bergantung
kepada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa mata, retina, saraf-saraf
penglihatan sampai kepada sel-sel otak yang terkait dengan proses melihat itu.
Padahal, saya kira kita tahu, bahwa ketajaman lensa mata kita tidaklah terlalu
tinggi. Misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda-benda yang terlalu
kecil. Seperti pori-pori benda, bakteri, virus, sel, molekul, atom, dan apalagi
partikel-partikel sub atomik seperti proton, neutron, dan elektron.
Lensa mata manusia juga hanya bisa menangkap benda-benda yang cukup besar.
Namun, tidak terlalu besar. Jika terlalu besar, juga tidak bisa terlihat. Gajah
di pelupuk mata misalnya, pasti malah tidak kelihatan. Jadi, yang sedang-sedang
saja.
Belum lagi, melihat dalam kegelapan. Pasti juga tidak mampu. Atau sebaliknya,
melihat di tempat yang terlalu terang, malah silau. Singkat kata, penglihatan
kita begitu terbatasnya sehingga banyak hal yang tidak bisa kita pahami dengan
hanya sekedar melihat.
Di kali lain, justru penglihatan kita itu telah menipu, dan tidak
'menceritakan' yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, kita melihat gunung berwarna
biru, padahal kalau didekati ia berwarna hijau dedaunan. Bintang di langit
terlihat kecil-kecil dan berkelap-kelip, padahal ia adalah benda raksasa yang
berpijar seperti matahari. Kita melihat fatamorgana di padang pasir, padahal ia
hanyalah uap air yang terbentuk karena panas yang begitu tinggi di permukaan
pasir itu. Dan seterusnya. Mata kita sungguh tidak bisa kita andalkan untuk
memahami kenyataan. Karena ia sering sekali ‘menipu’ kefahaman kita.
Demikian pula, indera yang lain seperti penciuman, pendengaran, pengecap dan
peraba. Mereka tidak kalah sering menipu kita.
Seorang Arif berkata;
Janganlah kita Merasa Pintar, Tapi Pintarlah Merasa.
Orang yang Merasa Pintar akan menjadi Sombong, tapi Orang yang Pintar Merasa akan menjadi Bijak.
No comments:
Post a Comment