Iapun berkata sopan, “Maaf mengganggu malam-malam begini Bu... Ibu yang baik, bisakah Ibu memberitahu saya dimana rumah saya?”
“Lho, kamu kan anakku,” sahut Ibunya, “aku ini Ibumu idiot! Ini rumahmu.”
“Janganlah Ibu membohongi saya. Tolong jangan buat saya bingung. Saya memang yakin rumah saya di sekitar sini, tapi dimana ya....?”, tukas si pemabuk.
Mendengar ribut-ribut antara ibu dan anak itu, para tetangga mereka merasa prihatin, dan merekapun ikut membantu si ibu meyakinkan putranya kalau si ibu memang ibunya dan itu memang rumahnya. Tapi apa gunanya berdebat dengan pemabuk. Yang berdebat dengan pemabuk, bukan saja jadi sama mabuknya, tapi malah lebih buruk dari si pemabuk itu sendiri bukan?
Mereka berusaha meyakinkannya, “Inilah rumahmu!” Merekapun menunjukkan bukti-bukti kepadanya: “Coba lihat ... ini Abdul,” “Lihat itu ... Toni, anjing kesayanganmu,” dan seterusnya ... dan seterusnya. Mereka tak memahami kalau lelaki itu sedemikian mabuknya, dimana bukti-bukti apapun tak akan ada manfaatnya. Siapa yang tahu apa yang dilihatnya, yang boleh jadi sesuatu yang di luar apa yang bisa kita bayangkan bukan? Ia tak melihat apa yang kita lihat; ia ada di dunia lain. Ibunya saja tak dikenalinya; bagaimana ia akan mengenali rumahnya? Dirinya sendiri saja tak dikenalinya...bagaimana ia bisa mengenali yang lainnya?
Sialnya lagi ... Pemabuk lainnya lewat disana mengendarai pedati. Menyaksikan keributan itu, iapun berteriak: “Hayo naik! Aku akan mengantarkanmu pulang kawan.”
“Kayaknya orang ini benar,” pikir si pemabuk, Mereka ini semuanya idiot. Aku menanyakan dimana rumahku, eh ... mereka malah berulang-ulang kali mengatakan kalau inilah rumahku. Emangnya aku buta apa?.”
***
Ingat! Bila kita tidak mengenali diri kita, maka bagaimana akan mengenali yang lainnya. janganlah jadi pemabuk, yang tak kenal dirinya sendiri. apalagi malah merasa dirinya benar dan menyalahkan orang lain.
No comments:
Post a Comment