Dalam buku The Music of Life karya Hazrat Inayat
Khan seorang sufi asal India yang banyak meneliti tentang muzik dan mistik
suara, menulis, bahwa Sang Mahakuasa yang dipanggil dengan beragam nama dalam
agama maupun aliran spiritual itu, bermuara pada satu sebutan yaitu Huu. Inayat
menyimpulkan ini, setelah melakukan penjelajahan pengalaman dan pengamatan
serius terhadap konsep suara. Baginya, kenyataan material maupun spiritual,
berawal dari suara. Vibrasi yang merambat melalui ruang dan waktu memadat jadi
bentuk-bentuk dan rasa-rasa. Maka suara menjadi dasar atas segala keadaan atau
kejadian. Menjelma warna, kata juga benda-benda.
Huu adalah inti suara, lantas menlahirkan beragam
keadaan, baik yang terdeteksi indera maupun yang bersifat spiritual. Pada
kisaran frekuensi tertentu, suara mewujud menjadi kayu, besi, batu-batu dan
semacamnya. Dalam fase yang lain, suara juga menjelma sebagai denyut perasaan,
kegelisahan, amarah, kepedulian dan sebagainya. Hu merupakan awal dan akhir
dari sebuah bunyi yang disebabkan pergerakan benda.
Pada pemahaman mistik sufisme yang didalami
Inayat, Hu merupakan abstraksi dari apa yang disebut kehidupan. Termasuk desis
nurani, ketika seseorang berdoa atau mengeluh. Nama dari semesta sesungguhnya,
dan bukan buatan manusia.
Inayat lalu menarik tafsir, bahwa semangat
ketuhanan, sebagaimana yang terekam pada narasi kitab suci, diperolehi melalui
interpretasi atas suara kosmik. Intisari suara atau Hu adalah simbol abstrak
yang berusaha di mengerti manusia dalam perjalanannya mengenal Sang Kuasa.
Yang dilakukan Inayat, sesungguhnya adalah
menjabar pemahaman tentang konsep Tuhan, lewat jalur kebudayaan. Inayat tidak
sedang bersimulasi sekadarnya. Dia pemusik, sufi sekaligus peneliti yang
telaten dan tidak main-main. Dia menyelami lautan tanda tanya, untuk mengerti,
apa yang sebenarnya di maksud dengan Tuhan itu.
Hu adalah sebuah kata dari bahasa sansekerta yang
berarti “memohon, menyeru”. Tentunya, ini mencengangkan. Sebab memohon atau
menyeru adalah kerja pada manifestasi suara, meski batin sekalipun.
Proto-Indo-Eropa, sebagai rumpun bahasa tua
dunia, memiliki sebuah kosata yang menyerap lema Hu dengan ghut artinya
“Sesuatu yang dipanggil”. Ketika diserap dalam Bahasa Proto-Germanic, ghut
berubah menjadi guthan. Oleh bahasa Norse Tua, yang digunakan bangsa viking
dibilangan Skandinavia, ghutan diserap menjadi Gud. Hingga menempel pada bahasa
Inggris kuno sebagai God, yang berlaku hingga masa Inggris Modern. Semua
mempunyai arti yang sama, yaitu “Sesuatu yang dipanggil, Sumber permohonan”.
Kata God sendiri, untuk pertamakalinya digunakan pada manuskrip kuno, Codex
Argenteus (silver book) pada abad ke-6 dalam bahasa Gothic, ditulis guĆ¾.
Terdapat pola saling jalin yang sinambung. Kata
God yang dipakai hingga kini itu, merupakan jelmaan dari simpul temali bahasa
yang sumbernya dari sanskrit. Huu telah mengalami evolusi eja dan tulis,
terserap pada beragam bahasa, lalu memuncak padaGod yang tenar sebagai
pembahasaan atas Sang Khalik.
Kata Hu juga turut mempengaruhi istilah penting
lain. Sebutlah Human. Akarnya masih sama, berinduk kepada sansekerta. Merupakan
gabungan dua kata yang saling melengkapi, Hu dengan arti seperti dijelaskan
diatas dirangkai dengan kata Manu yang artinya “ciptaan, makhluk yang cerdas”.
Tentu terdapat hubungan antara keduanya. Jika Hu diurai dengan penerjemahan
lugas yang berarti “Pencipta”, lalu Manu adalah “ciptaan berdayapikir”, maka
pengartian “Human” seperti pemahaman terkini, sudah cocok adanya.
Pada sisi yang lain, bahasa Indonesia juga
mengenal kata “manusia” yang didalamnya terkandung Manu pula. Khusus untuk kata
manusia, diserap utuh dari khasanah sanskrit, yaitu “Manusya” dengan arti yang
sama dengan Human pada Bahasa Inggris. Manusya diterjemahkan sebagai Ciptaan
yang berakal budi, Mankind.
Istilah Hu juga termaktub dalam
mitologi-mitologi. Misalnya, Hikayat Tehuti di mesir kuno. Menurut cerita itu,
Hu adalah penyuaraan “Mantra agung”, untuk memuja Kekuatan Supranatural
tertinggi. Manuskrip Old Kingdom Pyramid texts, yang diperkirakan ditulis pada
400-2300 SM, menyebut kata itu dengan dengan ejaan “HW”dibaca “HU”. Tentu saja
peneraannya menggunakan huruf hieroglyph. Mantra tersebut dimaksudkan untuk
memuja sebuah “Ide besar, Penciptaan”. Dalam senirupa mesir kuno, ide besar
penciptaan tadi dilambangkan dengan dengan Manusia berkepala burung. Perwujudan
visual yang oleh orang Mesir dipanggil dengan nama Toth. Dikemudian waktu, kata
ini diadopsi bahasa Inggris menjadi Thought, artinya memahami lewat pikiran.
Nama Tehuti, merupakan paduan dari tiga kata
yaitu Te, Hu, dan Ti. Ketiganya berinduk pada bahasa Proto-Indo-Eropa. Te
artinya “kamu”, kemudian bahasa inggris menyerapnya sebagai The. Deret
selanjutnya, kata Hu, diartikan “Yang tak terjelaskan” dan terakhir, Ti artinya
Dia. Sehingga lengkapnya, Te-Hu-Ti diterjemahkan menjadi “Kamu adalah HU”,
“kamu adalah Dia”.
Mitologi Iran yang merupakan turunan budaya
Persia juga menyinggung lema Hu pada simbol-simbol kebudayaannya. Sebut saja
Huma, sebuah simbol tentang makhluk surgawi yang digambar menyerupai burung
Phoenix. Kata huma dalam mitologi itu, berasal dari Humaya, bahasa iran kuno
(Indo Iranian) yang merupakan gandengan dari dua kata, Hu yang berarti
“Semangat Ilahiyah” dan Maya yang artinya air. Burung itu memang dimaknai
sebagai lambang tentang arus spiritualitas yang bening mengalit seperti air ,
menuju Ilahi. Selain itu, pada masyarakat Iran kuno, Huma juga diapresiasi sebagai
simbol keberuntungan.
Pada tradisi sufistik Iran awal, upaya-upaya
pencapaian kebahagiaan dalam laku spiritual, diilustrasikan seperti halnya
manusia yang berusaha meraih burung Huma. Dia yang berhasil menangkapnya akan
bahagia juga beruntung.
Demikian pula, pada kisah-kisah lain yang
tersebar didunia. Unsur Hu diambil untuk menandai sesuatu yang istimewa.
Misalnya, Terompet Kresna dalam epos besar Mahabharata, di deskripsikan sebagai
media untuk mendengungkan suara yang berbunyi Hu. Kosmologi Tibet juga
menyertakannya, seperti yang dilukar oleh Giuseppe Tucci, peneliti kebudayaan
dan sejarah tibet, yang menulis buku The Religions of Tibet. Dia melansir bahwa
orang tibet mempercayai alam semesta tercipta dari “napas” Tuhan yang bernada
“Hu Hu” sehingga seluruh karsaNya terbangun dengan indah.
Bahasa Indonesia, memilih kata Tuhan sebagai
bahasa representasi atas eksistensi Sang Mahakuasa. Pada sebuah artikel yang
pernah termuat di Harian Kompas, ahli bahasa Remy Sylado, menjelaskan dengan
menarik mengenai riwayat kemunculan kata ini. “Tuhan” diambil dari kata “Tuan”.
Terselipnya huruf “h” diantaranya adalah kasus biasa yang banyak terjadi dalam
bahasa Indonesia. Seperti ‘asut’ menjadi ‘hasut’, ‘utang’ menjadi ‘hutang’,
‘empas’ menjadi ‘hempas’, ’silakan’ menjadi ’silakan. Menurut remy, ini terjadi
seiring dengan kasus nominatif dan singularis dalam tatabahasa Sansekerta ke
Kawi dan Jawa. Misalnya tertulis ‘hana’ dibaca ‘ono’, ‘hapa’ dibaca ‘opo’.
Adalah Melchior Leijdecker, seorang pendeta
tentara yang berlatar pendidikan kedokteran, atas perintah VOC, yang
menginisiasi pemisahan kata Tuhan dan tuan. Pada masa sebelumnya, Kata tuan,
ditulis dalam ejaan kala itu , “toewan”, dimaknai ganda. Toewan bisa berarti
Tuhan seperti yang dipahami sekarang, sekaligus “tuan” yang setara dengan kata
majikan, pada konteks manusia. Lalu lewat pertimbangan Leijdecker, makna kedua
kata itu dibedakan dengan jelas. Meskipun sama-sama bermakna sebagai sesuatu
yang dijadikan curahan pengabdian, namun kata Tuhan kemudian menempati posisi
tertinggi, dikarenakan sifat keilahian yang disematkan, sedang “tuan”
dicukupkan pada konteks insani, makhluk ciptaan ilahi.
Lema tuan sendiri, bukan kata yang baru bagi
penghuni kepulauan ini. Melayu menggunakannya, demikian pula Jawa. Setelah
ditelusur, istilah itupun tidak murni satu lema, tapi merupakan gabungan dua
kata yang induknya sama-sama ke sansekerta. Keduanya adalah Tu dan Van. Tu
artinya Pemberi kasih sayang, yang oleh bahasa Ingris diterjemahkan dengan “God
of Love”. Lalu bersertanya, kata “van” yang kemudian diserap menjadi “wan”,
artinya “pujian”. Tuwan (toewan) pada perjalanannya, digunakan sebagai sapaan.
Letaknya berada didepan nama seseorang yang dihormati. Semacam sebutan Paduka,
Yang mulia, Yang tercinta atau Tulisan penyapa pada surat masa kini : Yang
terhormat (Yth).
Konon, Tu adalah kata yang akrab dengan
kebudayaan nusantara. Dugaannya, karena pengaruh paham “Kapitayan” yang
disinyalir pernah besar dan dianut oleh sebagian besar penguhuni kepulauan ini
dimasa lalu. Ajaran spiritual yang meyakini adanya Zat penguasa mutlak
disifatkan sebagai “Tan Keno Kinoyo Ngopo”, tak bisa diperkirakan, tak mampu
diapa-apakan. Bahkan, bisa jadi, “Tan Keno Kinoyo Ngopo” juga bermakna “Yang
tak mampu dinamai” karena agung dan sucinya. Apakah pemaknaan ini juga yang
mendasari kenapa para ahli bahasa sebelum Leijdecker kebingungan mencari
padanan kata God ?
Manifestasi atas penyifatan adikodrati yang
dianggap sumber segala sumber itu, terpancar pada segala hal yang punya unsur
kata Tu dan To. Baik yang negatif atau positif, hakikinya berangkat dari awal
yang sama. Pemeluk Kapitayan meyakini adanya kekuatan supranatural pada wa-tu,
tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ban, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, tu-rumbuhan,
to-san, to-pong, to-parem, to-ya. Saat melakukan ritual pemujaan, para penganut
kapitayan juga menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu. Barangkali,
sistem kepercayaan dan tatacara peribadatan seperti inilah, oleh para pelancong
kemudian disebut sebagai animisme dan dinamisme.
Dari sebuah kata Hu kemudian hari orang mengenal
God, kemudian Tu menjadi Tuwan hingga Tuhan. Layaknya resonansi ide yang
menggelinding lalu setidaknya, beginilah gambaran, bagaimana kebudayaan dari
masing-masing peradaban berusaha melakar misteri keberadaan Sang Pencipta,
menafsirnya lewat nama-nama. Mencicil pemahaman tentang Tuhan melalui rangkai
riwayat kata.
Dipetik dan diubahsuai daripada :
http://sufirangga.blogspot.com